3. Hadits Abu Humaid al-Saidi
عَنْ أَبِى حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ، وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِمِنْ رُكْبَتَيْهِ، ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ، فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ، فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا، وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِالقِبْلَةَ، فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ اليُسْرَى، وَنَصَبَ اليُمْنَى، وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ اليُسْرَى، وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ»
Abu Humaid ra. berkata: Aku adalah prang yang paling mengerti terhadap tata cara shalat Nabi. Aku menyaksikan Nabi bertakbir dan mengangkat tangan sehingga setantang kedua pundak. Jika Nabi ruku’, beliau menekankan telapak tangan pada lututnya, lalau meratakan punggungnya. Jika iktidal beliau mengangkat kepala sehingga setiap tulang kembali pada persendiannya. Jika Nabi sujud beliau meletakkan kedua tangan tanpa dihamparkan dan tanpa menggenggam jarinya, jari-jari kakinya diarahkan ke kiblat. Jika Nabi duduk pada yang dua rakaat, beliau duduk iftiras. Jika Nabi duduk pada tasyahud akhir, beliau mengedepankan kaki kiri dan menegakkan kaki lain dan duduk pada tempatnya. (HR Bukhari: 828; Tirmidzi: 293)/ 304.
Demikian tuntunan yang terdapat dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT). Sepertti anda lihat, dalam HPT tersebut belum dituntunkan secara tegas mengenai sikap atau posisi kedua belah tangan pada saat iktidal.
Demikian pula halnya dalam hadits-hadits yang dijadikan dasar dalam Himpunan Putusan Tarjih tersebut tidak secara tegas menyebutkan sikap atau posisi pada kedua belah tangan pada saat iktidal itu.
Hadits yang pertama menjelaskan sikap iktidal secara umum. Yaitu berdiri tegak, demikian pula halnya pada hadits yang kedua, di dalamnya hanya dijelaskan adanya iktidal. Yaitu bangkit dari rukuk (mengangkat tulang punggung) sambil membaca ‘samiallahu li man hamidahu dan kemudian berdiri tegak. Apabila sudah berdiri tegak, maka hendaklah membaca rabbana wa lakal hamdu. Pada hadits yang terakhir terdapat ungkapan:
فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ
Apabila Nabi mengangkat kepalanya, beliau berdiri tegak, sehingga setiap tulang kembali ke tempatnya semula.
Dari ungkapan itu dapat dipahami, bahwa yang dimaksud dengan setiap tulang itu termasuk tulang-tulang kedua belah tangan. Agar tulang-tulang kedua belah tangan itu kembali ke tempatnya seperti semula, maka kedua belah tangan itu tentu saja harus dilepaskan lurus ke bawah (tidak bersedekap).
Demikianlah jawaban yang dapat kami berikan sementara ini atas pertanyaan yang anda ajukan kepada kami. Semoga dapat menjadi bahan kajian dan telaah lebih lanjut secara lebih tegas lagi.
Catatan: alhamdulillah penulis telah memiliki artikel tersendiri. Ulama telah sepakat bahwa pada kasus yang belum ditemukan hadits yang spesifik, maka kembali ke sikap awal. Akar masalahnya, bagaimana sikap awal shalat itu, sedekap atau irsal? (*)
Editor Mohammad Nurfatoni