Jiwa Bonek Muhammadiyah
Menyebut Muhammadiyah atau Aisyiyah tidak lengkap jika hanya menghitung jumlah anggota, tanpa menyertakan jumlah amal usaha. Muhammadiyah dan Aisyiyah barangkali satu-satunya ormas di Indonesia, bahkan dunia yang iconic sebagai kumpulan manusia dan amal usaha sebagai satu kesatuan. Tanpa nama besar sosok taipan atau konglomerat papan atas, Muhammadiyah dan Aisyiyah menjadi ormas kaya raya berjamaah.
Jiwa amal usaha yang diwariskan tokoh pendiri Muhammadiyah dan Aisyiyah mirip jiwa bonek alias bondo nekat. Tidak harus menunggu kaya dan mapan untuk mendirikan amal usaha. Keberadaan amal-amal usaha bahkan menjadi syarat tidak tertulis berdirinya suatu cabang atau ranting. Berbeda dengan banyak ormas, yayasan, atau bahkan partai politik yang cukup dengan akta notaris, sejumlah anggota dan papan nama sudah ‘sah’ sebagai ormas, yayasan atau cabang, ranting partai politik.
Banyak amal usaha dirintis juga dijalankan dengan penuh ‘akrobatik’ antik. Unik karena menggunakan kearifan lokal masing-masing daerah, cabang, ranting. Muhammadiyah Lamongan misalnya, maju dalam bidang amal usaha kesehatan. Muhamamdiyah Gresik maju amal usaha pendidikan. Cabang Babat Lamongan maju bidang ekonomi. Cara-cara merintis dan mengembangkan amal usaha seringkali antimainstream dan out of the box tidak mengikuti qaidah manajemen yang berlaku umum.
“Amal-amal usaha Muhammadiyah di bidang dakwah, pendidikan, sosial, dan kesehatan menyerap kebutuhan barang dan jasa yang tidak sedikit.”
Watak antimainstream dan out of the box merupakan salah satu ciri pengusaha kreatif, inovatif, juga nekat. Diksi pengusaha yang hanya dilekatkan pada pelaku usaha bidang perdagangan barang atau jasa perlu diperluas menjadi entrepreneur. Diksi entrepreneur meliputi entrepreneur pendidikan, sosial, pemerintahan dan bisnis. Para penggerak amal-amal usaha Muhammadiyah dan Aisyiyah pantas disebut pengusaha atau entrepreneur sesuai bidangnya.
Amal-amal usaha dakwah, pendidikan, sosial, dan kesehatan menyerap kebutuhan barang dan jasa yang tidak sedikit. Amal-amal usaha tersebut layak disebut entitas ekonomi berdasarkan putaran aset, utang, uang, barang dan jasa di dalamnya. Hanya saja kelemahan banyak amal usaha tidak memiliki data aset, utang, uang, barang dan jasa.
Pendataan potensi ekonomi amal usaha bisa menjadi sumber penggerak lahirnya pengusaha dari internal Muhammadiyah dan Aisyiyah secara berjamaah. Berapa banyak jumlah pengusaha yang ‘harus’ ada di Muhammadiyah dan Aisyiyah? Berapa pula jumlah pengusaha dari kalangan warga Muhammadiyah dan Aisyiyah yang saat ini ada?
Tanpa data akurat dipastikan sulit memetakan dan mengejar target, ibarat tinju tanpa tau berapa jumlah petinju dan kelas tanding yang dituju, kelas berat, welter atau layang. Pendataan jumlah pengusaha meliputi bidang usaha, aset, utang, omzet menjadi modal besar untuk bersaing di gelanggang bisnis. Tidak harus masuk kelas berat di awal, bisa masuk kelas menengah dan dominan sudah cukup membanggakan. Kecil-kecil cabe rawit, sedikit tapi solid, dengan mental amal usaha bergerilya di tengah peradaban ekonomi raksasa kapitalis dan sosialis. Wallahualambishawab (*)
Editor Mohammad Nurfatoni