Skala Kasih Sayang dan Ikhtiar Meraih Kebahagiaan Rumah Tangga nan Abadi, merupakan bagian ke-13 dari buku Spiritualitas Pernikahan – Meraih Kebahagiaan dengan Rahmat Ilahi karya Moh. Sulthon Amien. Seri ke-12 sebelumnya: Kado Terindah untuk yang Tersayang, menjadi viral.
Penulis adalah Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, Ketua Badan Pembina Harian (BPH) Universitas Muhammadiyah Surabaya, Ketua Dewan Pembina Yayasan Insan Mulia Surabaya, dan Direktur Utama Laboratorium Klinik Parahita Surabaya.
PWMU.CO – Perjalanan rumah tangga setiap insan pasti mengalami pasang surut. Dalam satu waktu berada pada tingkatan puncak kasih sayang, namun di lain waktu pernah mengalami situasi yang membahayakan serta mengancam kelanggengan ikatan pernikahan.
Masa-masa sulit turun naik, itu sejalan dengan perjalanan kehidupan yang ditempuhnya, khususnya yang berhubungan erat dengan persinggungan kedua pihak pasangan suami istri. Seiring perjalanan waktu, pengalaman pendewasaan sering memengaruhi kehidupan tersebut.
Kestabilan cinta kasih kedua anak cucu Adam ini banyak dipengaruhi oleh intensitas kesalingpahaman kedua belah pihak. Terilhami skala motivasi Danah Zohar dan lan Marshall (2006) dalam bukunya, Spiritual Modal, saya mencoba membuat skala kasih sayang dalam spiritualitas pernikahan yang banyak mengadopsi ajaran Islam. Skala dimulai dari “rahmah” yang paling tinggi hingga “perceraian” di tingkatan paling rendah.
Rahmah (+5) adalah puncak cinta kasih seseorang dalam perkawinan yang dijalaninya. Karena sifat Allah Yang Agung itu telah termanifestasi dalam diri seorang hamba. Tak bisa digambarkan manakala sifat Rahmah Allah telah menyelimuti seorang hamba dalam dirinya.
Keberadaan antara suami istri tak ada lagi perbedaan yang berarti, tanggung jawab siapa sudah tidak penting, pembagian tugas masing-masing secara proporsional telah terbentuk dengan sendirinya. Hak dan kewajiban telah menyatu dalam amal saleh keduanya. Yang ada adalah sebuah pertanyaan apa yang bisa kulakukan untuk pasanganku dalam rumah tangga yang telah mencapai kebahagiaan puncak, yang acap kali disebut “rumahku surgaku” itu.
Mawaddah (+4) yang bertitik tolak pada kasih sayang yang muncul dari setiap inner beauty pasangan, bukan bersumber dari pandangan keelokan fisik yang kasatmata belaka. Akhlakul karimah pasangan yang menyelimutinya adalah buah dambaan yang menonjol. Tingkatan mawaddah bagaikan cinta antara kakek dan nenek yang walau masing-masing telah tua renta, kasih sayangnya tetap melekat mengikat erat. Kasih sayangnya tak akan pudar meskipun telah dimakan uzurnya usia. Kasih sayangnya tak lapuk dimakan usia dan tak kendur dimakan fisik.
Keduanya larut sebagai pasangan abadi dunia akhirat, seakan tak mau terpisahkan oleh apa pun. Betapa pun usia sedemikian lanjut, kelezatan sebagai pasangan suami istri yang abadi akan selalu terpatri dalam hati.
Sakinah (+3) merupakan tingkatan yang berangkat dari keikhlasan, saling tertarik antarmanusia yang diikat dalam pernikahan. Keikhlasan itu dapat menciptakan suasana keluarga sakinah, yaitu keluarga bahagia yang diliputi oleh rasa tenang, tenteram, dan sentosa mendekati sempurna.
Berkat adanya sakinah tersebut, kehidupan keluarga dapat berkembang menjadi sebuah pangkal keberanian, keuletan, dan ketabahan hidup. Jenis sakinah itu pula yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya SAW. Allah juga menganugerahkan sakinah kepada kaum beriman yang menyertai beliau sehingga tetap memiliki ketabahan, keuletan, harapan kepada Allah, sehingga mencapai kemenangan dan kesuksesan (Rachman, 2006).
Ketiga jenis tingkatan tersebut di atas menjadi dambaan setiap pasangan suami istri dalam dimensi spiritual sebuah pernikahan. Tidak saja nilai religius yang kental, muncul ke permukaan, tetapi pemaknaan akan arti keluarga telah tercapai sehingga puncak bahagia sejahteranya juga telah terpenuhi.
Kebahagiaan tidak hanya tampak dalam seremonial peringatan ulang tahun perkawinan emas atau selebihnya, bahkan nilai kehidupan berumah tangga telah menyatu dalam amanah kehidupan panjang duniawinya. lnsyaallah selangkah lagi akan menjadi pasangan abadi di sisi Ilahi.
Dambaan hati (+2) merupakan buah dari cerminan cinta yang telah naik tangga setingkat lebih tinggi dari perasaan menyukai antara anak cucu Adam. Ikatan batin itu terjalin karena buah cinta telah bersemi dan telah teruji dari kebanyakan cinta sejati.
“Cinta yang hanya mengandalkan tambatan hati tak akan tahan lama, jika tidak ada balutan yang mengikatnya.”
Jika hati telah menyatu, hidup menjadi indah dan segalanya terasa dalam impian abadi. Bagaikan sebuah melodi yang bersenandung, siang jadi harapan dan malam jadi impian. Kenyataan ini dirasakan setelah apa yang didambakan larut dalam buaian kehidupan. Lezatnya cinta kedua anak manusia yang diikat dalam sebuah pernikahan, menjadikannya terhanyut dalam buaian kebahagiaan yang selalu mengisi hari-hari indah dalam kehidupannya.
Cinta (+1) adalah modal utama manusia untuk menjalani kehidupan duniawi. Dengan cinta, anak manusia hidup dalam bingkai kebahagiaan. Meskipun disadari bahwa hidup di dunia ini hanyalah fana dan tidaklah abadi. Namun, kehadiran cinta akan membuat hidup ini terasa elok dalam genggaman hati. Seakan dunia ini hanya milik berdua. Cinta yang hanya mengandalkan tambatan hati tak akan tahan lama, jika tidak ada balutan yang mengikatnya.
Pernikahan adalah ikatan untuk membuatnya kukuh. Gelora yang muncul ada pada batasan yang hanya terlihat pada pandangan mata.
Ketika seseorang jatuh cinta dengan nafsu yang membara, kondisi ini memiliki kesamaan dengan fenomena kimiawi yang terjadi saat seseorang terdiagnosa penyakit jiwa. Penyakit yang bernama Obsessive Compulsive Disorder (OCD).
Donatella Marazziti, profesor psikiatri dari Universitas Pisa Italia, membandingkan kadar serotonin (zat kimia yang diproduksi otak) pada 24 orang yang sedang jatuh cinta dalam kurun waktu enam bulan terakhir, dengan para penderita OCD dan orang yang tidak mengalami kasmaran. Dia menemukan bahwa kadar serotonin pada orang yang jatuh cinta dan penderita OCD turun hingga 40 persen di bawah normal.
Dengan kata lain, orang yang jatuh cinta memiliki gejala yang sama dengan penderita OCD. Walaupun tidak dikatakan secara eksplisit, kesimpulan dalam riset tersebut, menyatakan bahwa orang yang sedang jatuh cinta menjadi sangat tidak rasional dan kehilangan nalar yang sangat kritis seperti halnya penderita gangguan jiwa (Pasiak, 2007).
Baca sambungan di halaman 2: Skala 0 sampai -5