Skala 0 sampai -5
Pada skala (0) tidak bisa disebut netral, antara masih ada perasaan cinta (+1) dan cemburu (-1). Pada skala ini, terdapat perbedaan tipis antara cinta dan cemburu. Perbedaan antara buah cinta munculnya rasa rindu di hati dengan perasaan cemburu akibat cinta yang tercederai.
Pada skala tersebut, seseorang merasa di ambang kekhawatiran karena cintanya sudah tidak utuh. Bahkan Ketika dia kurang pandai merawat cintanya, maka dia akan jatuh pada skala yang lebih rendah. Jika dia mulai tersadar untuk menjaganya, maka level cintanya akan naik pada tataran cinta semula.
Cemburu (-1) adalah mulai goyahnya sebuah ikatan perkawinan. Baik berdasarkan nalar karena hadirnya pihak ketiga atau perihal lainnya. Apalagi jika sampai pada level cemburu buta. Tak akan pernah didapat penjelasan dengan kata-kata. Yang ada hanyalah perasaan was-was akan kehilangan kekasih, serta berbagai prasangka buruk yang senantiasa menghantui.
Perasaan yang menghantui didasarkan pada kegalauan semata. Mulai dari rasa tidak percaya, hingga perasaan telah hilangnya cinta sejati yang sudah dikorbankan. Ketakutan akan kehilangan pasangan hidup, telah menjadikan hari-harinya terasa hambar dan tidak berarti.
Pertengkaran (-2) adalah buah dari tidak terkendalinya hubungan antara suami dan istri. Perseteruan biasanya dipicu oleh saling tidak percaya antara mereka. Masing-masing tidak bisa meredam ego yang muncul. Keduanya terjebak pada persepsinya yang merasa paling benar. Tidak mau merunut lagi di mana letak kesalahan yang membuat hubungan mereka mulai retak.
“Ada juga yang sudah berpisah, tidak lagi serumah dengan pasangannya. Keinginan untuk berpisah telah bulat. Ikatan batin sudah renggang dan bahkan sirna.”
Munculnya sikap saling menyalahkan masing-masing pihak sehingga tak mau lagi mengkoreksi diri. Fase itu merupakan puncak dari pertikaian ini terjadi. Dalih yang muncul dan seringkali digunakan sebagai justifikasi ke permukaan adalah “aku yang benar dan kamu yang salah”. Fondasi rumah tangga mulai goyah, dunia seolah terasa sempit, yang ada hanyalah perasaan marah. Hidup seperti di ujung tanduk, and no way out.
Pisah ranjang (-3) adalah pisah tidak tidur bersama, boleh jadi masih tinggal dalam satu rumah, namun sudah tidak saling bertegur sapa. Komunikasi hanya terjalin seperlunya, kamuflase demi keperluan anak saja.
Ada juga yang sudah berpisah, tidak lagi serumah dengan pasangannya. Keinginan untuk berpisah telah bulat. Ikatan batin sudah renggang dan bahkan sirna. Perasaan saling membenci lebih mengemuka. Cinta sejati yang dulu pernah membara telah pudar. Kini tinggallah luka batin yang menganga, dibalut penyesalan mengapa kami pernah dipertemukan. Ibarat benang telah mulai kusut, dan tidak mudah untuk diurai kembali.
Talak (-4) sebagai ungkapan yang dinyatakan dengan ucapan untuk bercerai. Talak yang diucapkan pihak lelaki dan ada saksi ini berkonsekuensi pertanda perceraian di ambang pintu. Tinggal menunggu waktu untuk melangkah lebih lanjut meneruskan keinginan bercerai untuk berpisah sebagai pasangan suami istri.
Pada kondisi itu, masing-masing akan mengalami suasana penderitaan yang cukup berat. Situasinya sudah tidak kondusif untuk hidup yang layak, satu dengan lainnya saling mencari cara untuk meneruskan perpisahan yang telah bulat.
Perceraian (-5) adalah hari-hari di mana masing-masing pihak telah menempuh jalur hukum untuk membulatkan tekad bercerainya. Tekadnya telah bulat menyerahkan persoalan bercerainya ke pengadilan agama dan biasanya pihak pengadilan tidak begitu langsung mengabulkan permohonannya. Melainkan ingin menemukan jalan tengah sebagaimana harapan agama mengajarkan cerai itu halal, tetapi sangat dibenci oleh Allah SWT.
Mereka dipertemukan kembali, dimediasi mencari solusi bersama memecahkan kebuntuan. Didorong rujuk kembali sebagai pasangan suami istri, menyadari kesalahan yang terjadi, saling memaafkan antara mereka, melupakan apa yang sedang terjadi. Membangun mahligai rumah tangga kembali seperti sediakala.
Baca sambungan di halaman 3: Jiwa Jalan Buntu