PWMU.CO – Khotbah nikah Haedar Nashir disampaikan di pernikahan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Moh. Sulthon Amien dengan guru Al-Hikmah Surabaya Nur Chamimmah Lailis Indriani.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu menyampaikan khotbah usai prosesi akad di Masjid Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya (SAIMS), Ahad (17/9/23).
Menurut Haedar, tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga yang sakinah ma waddah wa rahmah. “Sebagai bagian dari tugas dan kewajiban kita sebagai hamba Allah, untuk beribadah dan menjalankan fungsi kekhalifahan, yang tujuan lebih jauhnya adalah meraih keridhaan dan anugerah Allah yang rahman rahim,” ujarnya.
Diksi ketiga yang dikaitkan dengan pernikahan adalah azwaj yakni pasangan. Ibarat dua sayap dari seekor burung yang satu sama lain saling melengkapi dan tidak terpisahkan.
“Perempuan dan laki-laki dengan karakter, identitas, dan kekhasannya masing-masing, kelebihan dan kekurangannya, bukan menjadi sesuatu yang dihindari tetapi bagian dari azwaj kita membangun rumah tangga,” tutur Haedar.
Kelebihan istri dan kekurangan kita, bisa menjadi nilai tambah. Begitupun juga dengan kekurangan istri dan kelebihan kita bisa saling menguatkan sebagai azwaj.
Pernikahan lanjutnya, juga menjadi tradisi di zaman jahiliah, tetapi saat itu ikatan pernikahan lebih kepada su’ul mu’asyarah, lebih banyak pergaulan yang cenderung negatif dan merendahkan kaum perempuan, dan banyak merugikan.
Sampai ada tradisi ketika seorang suami meninggal maka istrinya boleh diwarisi untuk menjadi istri anaknya. “Maka turun ayat di surat an-Nisa di ayat 19 yang sejalan dengan ayat 22, yang juga melarang setelah zaman Islam, menikah terhadap istri yang telah dinikahi ayahnya,” jelasnya.
Ini, sambungnya, memang menggambarkan tradisi jahiliah yang tidak berperadaban tinggi, lalu hadirlah Islam pada bagian ayat 19 yang menjadi kosa kata penting mu’syarah bil makruf, yang selalu dibaca saat akad nikah oleh suami.
“Mu’asyarah bil ma’ruf menjadi kunci terbangunnya pernikahan yang sakinah ma waddah wa rahmah, dan memperkokoh mitsaqan ghalida, sekaligus memperkuat dimensi azwaj dalam relasi pernikahan dan rumah tangga dalam perjalanan yang panjang,” tuturnya.
Mu’asyarah dan mufa’ala itu bermakna musyarakah yakni perbuatan yang harus saling satu sama lain. “Sebenarnya ayat itu ditujukan untuk suami, Pak Sulthon dan kita semua. Di mana posisi suami sebagai arrijalu qawwamuna alannisa sebagai pertanggungjawaban sebagai kepala rumah tangga jauh harus melampaui segalanya dalam menunaikan hak dan kewajiban atas istri,” kata Haedar.
Maka, lanjutnya, kelegaan, hikmah, dan kearifan, serta keluhuran ruhani kita haru melebihi istri. “Agar kita sebagai pemimpin rumah tangga mampu menjaga bahtera rumah tangga sampai akhir hayat,” pesannya.
Makna mu’asyarah bil makruf itu maknanya yang pertama adalah menjaga keindahan kata-kata dalam rumah tangga.
Kata menjadi senjata ampuh untuk membangun makruf, kata juga bisa untuk menciptakan mungkar. Dari kata bahkan bisa menjadi perang, permusuhan, dan konflik. Dari kata juga kita bisa damai, bersatu, hidup tumakninah, rukun, dan islah.
“Maka semakin indah dan baik kata-kata akan menjadi perekat kita dalam berumah tangga. Di saat istri mengatakan yang tidak enak kita harus bisa menjadi penyejuk, pendamai, dan melahirkan kata yang makruf,” kata Haedar.
Begitu pun sebaliknya ketika suami melontarkan kata yang pedas dan menyakiti hati. Maka sang istri juga harus berjiwa hikmah. “Kalau tanpa itu perang kata akan menjadi badai dalam rumah tangga,” jelasnya.
Kedua, lanjut dia, memperbaiki perbuatan. Ketika suatu saat boleh jadi dalam hidup kita dan itu alamiah dan sunnatullah antarkita, baik di rumah tangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, ketika satu sama lain ada jejak yang kurang bagus.
“Maka ketika kita ingin mempertahankan mitsaqan ghalida dan azwaj, dan relasi yang sakral, kita harus mampu untuk memperbaiki hal-hal yang mungkin tercecer dalam perjalanan kehidupan kita. Dan itu memerlukan juga ilmu dan hikmah,” terangnya.
Baca sambungan di halaman 2: Bersikap Adil