PWMU.CO – Setelah resmi di launching beberapa waktu lalu, Sekolah Kebangsaan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Daerah Muhammadiyah (LHKP PDM) Kota kembali diglar. Pertemuan perdana diselenggarakan di Rumah Baca Cerdas (RBC), Kawasan Ruko Permata Jingga Malang, Sabtu (10/6) sore.
Sekolah Kebangsaan dengan topik ‘Islam: Muhammadiyah dan Politik’ ini menghadirkan dua narasumber, yakni Wakil Ketua Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Malang Baroni dan KH Isroqun Najah, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Malang.
(Baca: Sekolah Kebangsaan untuk Cetak Politisi dan Pejabat yang Muhammadiyah)
Pada kesempatan pertama, Baroni menyampaikan pandangannya terkait dengan peran Muhammadiyah terhadap perpolitikan di Indonesia. Secara formal, kata Baroni Muhammadiyah tidak berpolitik praktis. Tapi, peran Muhammdiyah terhadap politik kebangsaan bisa dilihat dan dirasakan bersama. Bahkan, sejak sebelum Indonesia merdeka.
”Kontribusi Muhammadiyah sudah sangat jelas. Mulai dari pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga saat ini. Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan bersama dengan tokoh-tokoh awal Muhammadiyah terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Jenderal Sudirman yang merupakan tokoh muda Muhammadiyah menjadi garda depan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) waktu itu, dan sekarang TNI,” terangnya.
Sejarah juga mencatat bahwa umat Islam berperan besar dalam perjuangan meraih kemerdekaan, dari proses pembentukan NKRI hingga proses perumusan dasar-dasar negara.
(Baca juga: Kader Muhammadiyah Harus Berwawasan Kebangsaan dan Berakhlakul Karimah)
”Waktu itu terjadi perdebatan yang luar biasa antara kelompok nasionalis, Islam, sosialis dan sebagainya. Alhamdulillah. Dasar negara Indonesia diawali dengan kalimat berkat rahmat Allah SWT. Kalimat itu terdapat dalam pembukaan UUD 1945. Ini adalah bukti peran Islam luar biasa,” jelasnya.
Di sesi kedua, KH Isroqun Najah mengawali pemaparannya dengan sebuah filosofi ketupat. Dijelaskan bahwa ketupat yang berbahan beras bisa melebur dalam bungkus daun janur kuning yang merupakan simbol kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan.
Kebangsaan, lanjut Isroqun tidak lepas dari keberagaman dan kebhinekaan yang didasari oleh persatuan tanpa melihat suku agama, dan ras.
(Baca ini juga: Inilah Sejarah Sesungguhnya: Kiai Dahlan Dirikan Sekolah Nasionalis 11 Tahun Sebelum Ki Hajar Dewantara)
”Jadi, jika sudah menjadi ketupat, tidak akan bisa diidentifikasi lagi satu-persatu, karena sudah lebur. Dan jika masih ada biji beras yang belum terkelupas (las-istilah Jawa) maka ini belum tulus untuk melebur dalam ikatan ketupat,” tuturnya sambil tersenyum.
Isroqun menambahkan, pemahaman persatuan sesama Islam dan bangsa Indonesia adalah bukti kebesaran Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. ”Kalau kita tidak berpolitik, maka tidak akan memberikan solusi konkrit terhadap bangsa dan umat ini. Karena itu kita harus lebih Arif dan bijaksana dalam menyikapi serta men-dialog-kan,”pungkasnya.(izzudin/aan)