Analisis dan Tanggapan
Narasi Gus Baha di atas sekilas mengesankan bahwa suap itu boleh. Saya tidak dalam kapasitas membantah apa yang disampaikan Gus Baha’. Tentu sangat tidak sebanding, Gus Baha’ adalah ulama yang menguasai ribuan kitab, dan selalu mengutip pendapatnya pada sumber yang akurat pada kitab-kitab bersanad, sementara saya hanya pengagum Gus Baha’. Saya sering mendengar dan melihat ngaji Gus Baha’ di YouTube, beliau adalah ulama sejati.
Saya hanya akan memberikan beberapa komentar sesuai pemahaman saya, dan tidak bermaksud membantahnya. Pertama, konteks yang disampaikan Gus Baha’ tampak jelas posisi antara yang zalim dan yang saleh sehingga pertarungannya jelas orang ahli maksiat dan ahli ibadah. Sementara dalam sistem politik Indonesia, secara hukum semua politisi yang terdaftar mengikuti kontestasi adalah orang baik, paling tidak baik secara politik, hingga terbukti secara hukum salah.
Semua kandidat pejabat publik seperti lurah, bupati, gubernur, presiden, maupun legislatif dalam kacamata hukum politik adalah orang baik karena telah mengikuti serangkaian seleksi yang cukup ketat. Untuk menjadi seorang calon presiden harus memenuhi persyaratan dalam undang-undang pemilu, sehat jasmani dan rohani, berkelakuan baik, tidak sedang menjalani hukuman yang ditetapkan oleh pengadilan.
Maka dalam konteks ini tidak sesuai dengan yang disampaikan Gus Baha’ bahwa kandidat adalah orang zalim dan ahli maksiat tidak terjadi dalam sistem politik kita. Boleh jadi perspektifnya saja yang berbeda, hanya karena perbedaan konsep dalam kebijakan publik saja. Sehingga konsep badhul mal tidak relevan diterapkan dalam konteks perpolitikan tanah air. Apa lagi persaingan suap dilakukan oleh sesama partai yang berazaskan Islam atau paling tidak berplatform nasionalis religious. Banyak tokoh agama tidak mendukung calon politisi yang religious, tapi lebih mendukung kelompok yang diidentifikasi abangan atas dasar potensi kemenangan. Artinya semua pada wilayah abu-abu, bukan jelas hitam dan putihnya.
Kedua, contoh yang disampaikan Gus Baha’ khususnya dalam kasus Ruhin lebih terlihat sebagai orang yang terzalimi, artinya mazlum. Kenapa mazlum? Karena dia terhalang oleh kezaliman dalam memperoleh haknya. Misalnya dalam seleksi CPNS, seseorang telah mengikuti rangkaian seleksi dan dinyatakan lulus, namun dia dipaksa membayar supaya mendapatkan SK, maka ketika dia membayar agar haknya terpenuhi maka dia mazlum, orang yang dizalimi, dan bukan suap.
Beda kasus kalaa peserta ini tidak lulus, kemudian menyuap supaya lulus, padahal kuota terbatas, dia tidak hanya menyuap, boleh jadi dia menzalimi peserta lain yang seharusnya lulus, tapi karena dia menyuap maka dia menggeser kesempatan orang lain yang lulus, dan ini kezaliman. Dalam konteks ini maka badhul mal untuk memperoleh hak bisa menjadi kewajiban.
Dalam konteks pemilu, memilih adalah hak setiap orang tanpa ada pemaksaan atau pelarangan, tidak ada yang menzalimi. Hanya saja berdasar hasil ijtihad masing-masing ingin memiliki pemimpin atau wakil yang baik. Jika pilihannya semua baik kenapa harus membeli suara.
Baca sambungan di halaman 3: UU Tipikor