Ijtihad Baru
Sedangkan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menuturkan, ”Sesungguhnya pemberian hadiah kepada wali amri, yaitu orang yang diberikan tanggung jawab atas suatu urusan untuk melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan, ini adalah haram, baik bagi yang memberikan maupun menerima hadiah itu, dan ini adalah suap yang dilarang Nabi SAW.”
Sementara itu, Asy-Syaukani dalam Nailul Authar, “Termasuk kemutlaqan suap-menyuap bagi seorang hakim dan para pekerja yang mengambil shadaqah, itu menerangkan keharamannya sesuai ijmak.”
Begitu pula Ash-Shan’aniy dalam Subulussalam, “Dan suap-menyuap itu haram sesuai ijma’, baik bagi seorang qadhi/hakim, bagi para pekerja yang menangani shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.“ (al-Baqarah 188)
Dalam fikih klasik pembahasan risywah lebih banyak terkait dengan urusan pengadilan dan bukan urusan politik. Hal ini karena para fuqaha hidup di zaman politik dinasti/monarki di mana khalifah diangkat berdasarkan pada keturunan, begitu pula para pejabat pemerintahan ditunjuk oleh khalifah, raja, atau sultan. Tidak ada pemilu yang memungkinkan terjadinya suap-menyuap pemilih.
Karenanya pendapat Gus Baha’ dalam kitab Fathul Mu’in sebenarnya juga tidak secara khusus membahas konteks politik praktis. Maka konsepsi risywah dalam konteks bernegara adalah ijtihad baru sesuai konteks dan realitas yang ada dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Ongkos politik yang tinggi terbukti menempatkan orang saleh menjadi zalim karena hanya memikirkan bagaimana mengembalikan modal. Maka seluruh kebijakannya biasanya disetting bagaimana modal politiknya Kembali. Meski ijtihadiah, saya pribadi berdiri dalam barisan yang mengharamkan suap-menyuap dalam jual beli suara politik. Wallahualam bishawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni