Gus Baha Membolehkan Money Politic?

Aji Damanuri

Gus Baha Membolehkan Money Politic? Oleh Dr Aji Damanuri MEI, dosen FEBI IAIN Ponorogo, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Tulungagung.  

PWMU.CO – Beberapa hari ini di grup-grup WhatsApp beredar video pendek penjelasan KH Bahauddin Nursalim atau yang lebih terkenal dipanggil Gus Baha’ mengenai risywah. Menurut Gus Baha’ uang yang diberikan calon anggota dewan atau calon pejabat pemerintahan seperti kepala desa, bupati, gubernur, presiden, bukanlah risywahyang dilaknat tetapi membeli kebenaran, bakhan bisa wajib hukumnya. 

Saya tidak mengetahui sumbernya dari mana karena tidak ada link yang menyertainya. Namun dapat dipastikan bahwa video suara tersebut 100 persen bersumber dari Gus Baha’. Demikian narasi lengkapnya:

“Karena ini perebutan satu wilayah, jabatan juga demikian, harta, tahta, wanita juga begitu. Kamu menyariatkan orang saleh jadi bupati ya tidak mungkin karena dekat dengan syubhat barang haram, tapi membiarkan seseorang yang nakal, tidak punya tradisi kiai, tradisinya hanya PKI menjadi pejabat, kamu dosa apa tidak?”

Menurut Gus Baha’ di Fathul Mu’in di jelaskan: “Kalau ada jabatan presiden, lurah, bupati atau gubernur mau direbut orang zalim, dan orang zalim tersebut pasti menang karena membeli suara, maka orang saleh wajib membelinya. Anggap saja membeli kebenaran. Itu Namanya bukan suap. Sekarang ini orang saleh itu bodoh-bodoh, kalu ada DPR memberi uang dianggap suap, padahal kalo DPR-nya saleh dan berpotensi jabatannya dikuasai oleh orang zalim itu namanya bukan suap, tapi badhul mal atau membeli kebenaran.”

Gus Baha’ melanjutkan penjelasannya: “Hayo yang pernah bilang suap harus istighfar sekarang. Ini hukum, saya tidak membela siapa-siapa. Coba saja nanti kalo ketemu Tuhan, pasti benar saya. Jadi al rasyi wal murtasyi fi nar itu maksudnya bukan itu. Misalnya saya punya sawah atau punya istri. Pokoknya hak itu milik saya, kemudian direbut Ruhin. Katanya Ruhin miliknya, dan saya tahu hakim ini hakim zalim, kalau disuap dia akan membela Ruhin. Jadi kalau Ruhin bayar Rp 5 juta maka dimenangkan Ruhin kalau saya tidak bayar. Tapi kalau saya bayar Rp 6 juta maka saya yang menang. Saya membayar enam juta ke hakim itu suap atau membeli kebenaran?“ tanya Gus Baha’ menegaskan.

Intinya menurut Gus Baha’ pengertian suap suara (money politic) bukan risywah. “Yang dimaksud suap itu membalikkan yang hak menjadi batil dan yang batil menjadi hak. Umpamanya saja lurah, kalau menang dia tukang oplosan, ngundang sinden, dangdutan,  tayuban, trus lurah yang dzolim beli suara Rp 20 ribu, musuhnya Ruhin yang sholih yang santri, kita tau kalau yang salih beli Rp. 30 ribu akan jadi, maka menurut Fathul Mu’in (kitab fikih) maka yang salih-salih wajib beli. Itu dianggap beli kebenaran. Jadi bukan suap. Yang disebut suap itu suatu pembiayaan yang hak jadi batil yang batil menjadi hak. Tapi kalau beli kebenaran, maka beli kebenaran itu sama dengan jihad.”

Contoh lain yang diberikan Gus Baha’: “Misal lain kalau istri Ruhin diculik orang zalim, terus orang zalimnya bilang kalau tidak ditebus tidak dikasihkan istrimu. Lah kalau memberi uang dianggap suap terus bagaimana. Misalnya Ruhin gak mau bayar karena haram, ya tidak, karena Ruhin membeli kebenaran. Kecuali Ruhin bayar untuk mengakui istri orang lain supaya jadi istrinya. Jadi suap dan badrul mal itu beda. Tapi sekarang itu jaman akhir malah yang saleh yang bayar, mestinya kita yang ikut bayari supaya yang saleh jadi. Maka kalo berfatwa ya hati-hati.”

Baca sambungan di halaman 2: Analisis dan Tanggapan

Aji Damanuri

Analisis dan Tanggapan

Narasi Gus Baha di atas sekilas mengesankan bahwa suap itu boleh. Saya tidak dalam kapasitas membantah apa yang disampaikan Gus Baha’. Tentu sangat tidak sebanding, Gus Baha’ adalah ulama yang menguasai ribuan kitab, dan selalu mengutip pendapatnya pada sumber yang akurat pada kitab-kitab bersanad, sementara saya hanya pengagum Gus Baha’. Saya sering mendengar dan melihat ngaji Gus Baha’ di YouTube, beliau adalah ulama sejati.

Saya hanya akan memberikan beberapa komentar sesuai pemahaman saya, dan tidak bermaksud membantahnya. Pertama, konteks yang disampaikan Gus Baha’ tampak jelas posisi antara yang zalim dan yang saleh sehingga pertarungannya jelas orang ahli maksiat dan ahli ibadah. Sementara dalam sistem politik Indonesia, secara hukum semua politisi yang terdaftar mengikuti kontestasi adalah orang baik, paling tidak baik secara politik, hingga terbukti secara hukum salah.

Semua kandidat pejabat publik seperti lurah, bupati, gubernur, presiden, maupun legislatif dalam kacamata hukum politik adalah orang baik karena telah mengikuti serangkaian seleksi yang cukup ketat. Untuk menjadi seorang calon presiden harus memenuhi persyaratan dalam undang-undang pemilu, sehat jasmani dan rohani, berkelakuan baik, tidak sedang menjalani hukuman yang ditetapkan oleh pengadilan. 

Maka dalam konteks ini tidak sesuai dengan yang disampaikan Gus Baha’ bahwa kandidat adalah orang zalim dan ahli maksiat tidak terjadi dalam sistem politik kita. Boleh jadi perspektifnya saja yang berbeda, hanya karena perbedaan konsep dalam kebijakan publik saja. Sehingga konsep badhul mal tidak relevan diterapkan dalam konteks perpolitikan tanah air. Apa lagi persaingan suap dilakukan oleh sesama partai yang berazaskan Islam atau paling tidak berplatform nasionalis religious. Banyak tokoh agama tidak mendukung calon politisi yang religious, tapi lebih mendukung kelompok yang diidentifikasi abangan atas dasar potensi kemenangan. Artinya semua pada wilayah abu-abu, bukan jelas hitam dan putihnya.

Kedua, contoh yang disampaikan Gus Baha’ khususnya dalam kasus Ruhin lebih terlihat sebagai orang yang terzalimi, artinya mazlum. Kenapa mazlum? Karena dia terhalang oleh kezaliman dalam memperoleh haknya. Misalnya dalam seleksi CPNS, seseorang telah mengikuti rangkaian seleksi dan dinyatakan lulus, namun dia dipaksa membayar supaya mendapatkan SK, maka ketika dia membayar agar haknya terpenuhi maka dia mazlum, orang yang dizalimi, dan bukan suap. 

Beda kasus kalaa peserta ini tidak lulus, kemudian menyuap supaya lulus, padahal kuota terbatas, dia tidak hanya menyuap, boleh jadi dia menzalimi peserta lain yang seharusnya lulus, tapi karena dia menyuap maka dia menggeser kesempatan orang lain yang lulus, dan ini kezaliman. Dalam konteks ini maka badhul mal untuk memperoleh hak bisa menjadi kewajiban.

Dalam konteks pemilu, memilih adalah hak setiap orang tanpa ada pemaksaan atau pelarangan, tidak ada yang menzalimi. Hanya saja berdasar hasil ijtihad masing-masing ingin memiliki pemimpin atau wakil yang baik. Jika pilihannya semua baik kenapa harus membeli suara.

Baca sambungan di halaman 3: UU Tipikor

Aji Damanuri

UU Tipikor

Ketiga, konsep risywah atau suap-menyuap di negara ini sudah dirumuskan dan disahkan dalam sebuah undang-undang, yang secara politik kenegaraan undang-undang tindak pidana korupsi adalah sebuah fikih bagi masyarakat. Undang-Undang Tipikor bukan hanya dimaksudkan menghukum pelaku korupsi dengan suap menyuap, tetapi juga mencegahnya.

Makanya tidak heran ada ada hukum gratifikasi, memberikan sesuatu (hadiah) yang dicurigai ada hubungannya dengan kebijakan politik. Maka pejabat publik dilarang menerima hadiah Ketika melakukan kunjungan, bahkan ada pembatasan sumbangan Ketika mengadakan hajatan.

Dalam konsep ushul fikih ada kaidah sad al dzariah, yaitu hukum yang mengatur agar kemadharatan lebih besar tidak terjadi. Misalnya dilarang menggali sumur di depan pintu karena berpotensi mencelakakan orang lain. Dalam dunia modern ada aturan dilarang bermain HP Ketika berkendara. Hukum itu dibuat agar tidak menimbulkan kecelakaan. Undang-undang tipikor dibuat untuk mencegah kejahatan korupsi terjadi, di antaranya dengan menghilangkan budaya suap-menyuap. Undang-undang tipikor adalah fikih politik bangsa Indonesia.

Dengan demikian, sebetulnya apa yang disampaikan Gus Baha’ tidaklah salah jika kasusnya mencocoki konteks yang dijelaskan. Namun dalam konteks Indonesia di mana fakta membuktikan bahwa kedzaliman korupsi bisa dilakukan oleh siapa saja, politisi yang bergelar ustadz, kiai, haji, pada masuk penjara karena korupsi.

Maka badrul mal, atau membeli kebenaran tidak menemukan konteksnya dalam sistem perpolitikan di Indonesia. Yang sedang berkompetisi bukanlah malainkan dan setan, tetapi sesama anak bangsa yang kadang penilaian kita terhadap seseorang disandra oleh kedunguan informasi, fanatisme buta, bahkan politisasi agama. Ukuran orang itu zalim atau tidak adalah undang-undang, bukan pandangan subjektif.

Karenanya selain memahami konteks politik, kita perlu mengkaji landasan normatifenya. Bahkan menurut Klaled Abou el-Fadhl memahami hukum Islam harus melibatkan hati nurani. Apakah betul bahwa jual beli suara dalam pemilu bukan risywah. Ada beberapa landasan normatif terkait risywah ini.

Baca sambungan di halaman 4: Suap-menyuap dalam Islam

Aji Damanuri

Suap-menyuap dalam Islam

Suap-menyuap dalam Islam disebut juga ar-Risywah (الرِّشْوة), Ibnu Atsir dalam an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar mendefiniskan; ar-Risywah adalah usaha memenuhi hajat (kepentingannya) dengan membujuk. Kata ar-Risywah sendiri berasal dari الرِشاء   yang berarti tali yang menyampaikan timba ke air. Jadi, ar-Risywah adalah pemberian apa saja (berupa uang atau yang lain) kepada penguasa, hakim, seseorang atau pengurus suatu urusan agar memutuskan perkara atau menangguhkannya dengan cara yang bathil. 

Risywah ini biasanya terjadi karena ada sesuatu yang salah, karena kalua semua terjadi baik-baik saja maka tidak membutuhkan suap menyuap. Ketika hak-hak seseorang, atau keinginan baik seseorang bisa dicapai sesuai mekanisme yang benar maka suap menyuap tidak dibutuhkan. Untuk memuluskan jalan maka suap menjadi pilihan.

Suap-menyuap biasanya melibatkan tiga kelompok. Pertama, orang yang menyogok disebut dengan râsyi; kedua, orang yang menerima sogok disebut dengan murtasyi; dan ketiga, orang menjadi mediator dalam sogok menyogok yang disebut dengan ra`isy.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا الأَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ – يَعْنِى ابْنَ عَيَّاشٍ – عَنْ لَيْثٍ عَنْ أَبِى الْخَطَّابِ عَنْ أَبِى زُرْعَةَ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ وَالرَّائِشَ. يَعْنِى الَّذِى يَمْشِى بَيْنَهُمَا. رواه أحمد

”Hadis diterima dari Tsauban, beliau berkata: Rasulullah melaknat orang yang menyogok dan yang menerima sogok serta orang yang menjadi perantara, yaitu orang yang berjalan di antara keduanya.” (HR Ahmad).

Dalam politik di Indonesia ketiga komponen ini saling memanfaatkan, bahkan saling curang menjadi makelar beberapa partai. Padahal perilaku yang demikian dilaknat oleh Rasulullah SAW.

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ

 Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan penerima suap. (HR Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad)

عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : لعن رسول الله صلي الله عليه وسلم الراشي و المرتشي في الحكم. رواه الخمسة, و حسنه الترمذي وصححه ابن حبان.

”Dari Abu Hurairah Radiyallahu anhu berkata, Rasulullah SAW melaknat penyuap dan orang yang disuap dalam perkara peradilan. ”(HR Ahmad dan Al-Arba’ah serta dihasankan oleh At-Tarmizi dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)

Perilaku suap menyuap juga disampaikan oleh para  ulama. Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughniy menyatakan:

فأما الرشوة في الحكم ورشوة العامل فحرام بلا خلاف

“Adapun suap-menyuap dalam masalah hukum dan pekerjaan (apa saja) maka hukumnya haram–tidak diragukan lagi.

Baca sambungan di halaman 5: Ijtihad Baru

Aji Damanuri

Ijtihad Baru

Sedangkan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menuturkan, ”Sesungguhnya pemberian hadiah kepada wali amri, yaitu orang yang diberikan tanggung jawab atas suatu urusan untuk melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan, ini adalah haram, baik bagi yang memberikan maupun menerima hadiah itu, dan ini adalah suap yang dilarang Nabi SAW.”

Sementara itu, Asy-Syaukani dalam Nailul Authar, “Termasuk kemutlaqan suap-menyuap bagi seorang hakim dan para pekerja yang mengambil shadaqah, itu menerangkan keharamannya sesuai ijmak.”

Begitu pula Ash-Shan’aniy dalam Subulussalam, “Dan suap-menyuap itu haram sesuai ijma’, baik bagi seorang qadhi/hakim, bagi para pekerja yang menangani shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.“ (al-Baqarah 188)

Dalam fikih klasik pembahasan risywah lebih banyak terkait dengan urusan pengadilan dan bukan urusan politik. Hal ini karena para fuqaha hidup di zaman politik dinasti/monarki di mana khalifah diangkat berdasarkan pada keturunan, begitu pula para pejabat pemerintahan ditunjuk oleh khalifah, raja, atau sultan. Tidak ada pemilu yang memungkinkan terjadinya suap-menyuap pemilih. 

Karenanya pendapat Gus Baha’ dalam kitab Fathul Mu’in sebenarnya juga tidak secara khusus membahas konteks politik praktis. Maka konsepsi risywah dalam konteks bernegara adalah ijtihad baru sesuai konteks dan realitas yang ada dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. 

Ongkos politik yang tinggi terbukti menempatkan orang saleh menjadi zalim karena hanya memikirkan bagaimana mengembalikan modal. Maka seluruh kebijakannya biasanya disetting bagaimana modal politiknya Kembali. Meski ijtihadiah, saya pribadi berdiri dalam barisan yang mengharamkan suap-menyuap dalam jual beli suara politik. Wallahualam bishawab. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version