Memiting TNI dan Polri demi NKRI; Kolom oleh Prima Mari Kristanto
PWMU.CO – Kata miting yang diucapkan Panglima TNI Laksamana Yudho Margono di internal TNI yang viral di media sosial menuai kontroversi. Panglima TNI telah meminta maaf atas ucapan tersebut.
Sikap ksatria Panglima TNI patut diapresiasi meskipun sebelumnya klarifikasi telah disampaikan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksamana Muda TNI Julius Widjojono. Kata miting sempat diklarifikasi sebagai kata ganti merangkul.
Tidak puas dengan klarifikasi tersebut, netizen mencari arti kata tersebut di Kamus Besar Bahasa Indonesi (KBBI) menulis arti kata pi·ting1 v, me·mi·ting v mengapit atau menjepit dengan kaki atau lengan.
Kelemahan KBBI tidak bisa dan tidak memungkinkan memasukkan unsur rasa bahasa atau rasa kata secara tertulis.
“Aktivitas piting memiting juga bagian dari permainan anak-anak di Jawa, termasuk di Madiun, tempat Panglima TNI dilahirkan dan melalui masa kecil.”
Bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa melayu sebagai lingua franca telah ditetapkan sebagai bahasa persatuan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Kemudian setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Penetapan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 36 berbunyi, “Bahasa negara adalah bahasa Indonesia.” Kalimat itu menegaskan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional memiliki kedudukan yang sangat kuat, digunakan dalam urusan kenegaraan dan urusan tata pemerintahan.
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia bukan hanya menyerap unsur bahasa melayu saja, melainkan juga menyerap unsur bahasa asing dan bahasa daerah, termasuk Jawa. Panglima TNI dalam klarifikasinya menyebut sebagai wong ndeso mengaku salah dengan pilihan kata atau diksi miting dalam kegiatan resmi kenegaraan di internal TNI.
Miting dalam ejaan Jawa mithing, huruf “t” dan “th” tekanannya berbeda. Aktivitas piting memiting juga bagian dari permainan anak-anak di Jawa, termasuk di Madiun, tempat Panglima TNI dilahirkan dan melalui masa kecil.
Baca sambungan di halaman 2: Merangkul atau Memukul?