Merangkul atau Memukul?
Memiting tetap bisa diartikan merangkul, tetapi dengan kekuatan, juga dalam suasana bercanda sambil bermain. Dalam olahraga gulat, judo dan UFC, memiting dianggap sah, sementara dalam pencak silat, karate, tinju, bahkan sepakbola, memiting dianggap pelanggaran berat.
Kata miting yang disampaikan dalam forum resmi bahkan panas di tengah kasus pulau Rempang menjadi pilihan kata yang kurang pas. Jika diksi miting dibawa dalam suasana santai, bermain, dan bercanda, maka bisa bermakna merangkul dengan kuat dan erat tanpa ada perasaan marah, sakit, atau kalah di salah satu pihak. Itu menunjukkan hubungan emosional yang akrab dan dekat.
Dalam kasus di pulau Rempang, suasana bagaimana yang akan dibawa? Miting merangkul atau miting memukul? Amanat konstitusi UUD 1945 pasal 33 ayat 1 berbunyi “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.” Jika asas kekeluargaan yang di kedepankan maka piting memiting dan rangkul merangkul demi keakraban bisa menjadi modal terbesar dalam menyusun road map (peta jalan) ekonomi nasional.
“Rakyat bersama aparat sipil dan TNI Polri menyadari posisi masing-masing dalam keluarga besar Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa sikap adigang, adigung, adiguna.”
Sebagai alat negara, TNI dan Polri bukan sekadar alat dari penyelenggara negara yang bersifat sementara, yang lima tahun sekali dievaluasi bahkan diganti jika dianggap menyimpang dari konstitusi. TNI dan Polri sebagai alat negara yang perlu dipiting atau dirangkul untuk bersama-sama membaca konstitusi negara, arah tujuan ekonomi politik masa depan demi mewujudkan ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia’.
Piting memiting dalam suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan, bukan dalam suasana kekerasan, hasilnya pasti beda. Pulau Batam, Rempang, Galang yang pernah diniatkan menjadi kawasan ekonomi strategis bersama Singapura dan Johor Malaysia oleh mendiang BJ Habibie hanya bisa diwujudkan dengan asas ekonomi kekeluargaan.
Jika potensi ekonomi kearifan lokal bisa dimajukan, dijual, dan dibawa ke ranah global, tidak perlu mendatangkan investasi asing berlebihan sampai harus menggusur warga lokal demi mendapat predikat bagian dari ekonomi global.
Memajukan suatu kawasan tanpa investasi asing hanya bisa diwujudkan dengan menjunjung asas ekonomi kekeluargaan. Rakyat bersama aparat sipil dan TNI Polri menyadari posisi masing-masing dalam keluarga besar Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa sikap adigang, adigung, adiguna. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, tanpa ada yang dipukul atau dipiting dengan emosional. Wallahualambishawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni