Analisis
Dari paparan berbagai hadits di atas, tidak ditemukan hadits yang spesifik yang menjelaskan bagaimana posisi tangan Rasulullah SAW ketika iktidal. Periwayatan dengan berbagai redaksi:
- Diperintah meletakkan tangan kanan pada tangan kiri sewaktu shalat, atau: diperintah meletakkan tangan kanan pada lengan kirinya sewaktu shalat, atau:
- Lalu beliau melepaskannya dan meletakkan tangan kanan pada tangan kiriku, atau:
- Lalu meletakkan tangan kanan pada telapak tangan kiri dan pergelangan dan lengannya. Dalam riwayat lain: mendekap tangan kanan pada tangan kirinya atau:
- Jika Anda mengangkat kepalamu, tegakkan tulang sulbimu sehingga setiap tulang kembali pada persendiannya
Semuanya bias, bisa dipahami saat orang telah memasuki shalat yang ditandai dengan takbiratul ihram, atau pada setiap posisi tegaknya tulang sulbi.
Jika yang dimaksud sikap setelah takbiratul ihram, maka ulama sepakat, begitulah contoh dan yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW dalam tata cara shalat.
Maka jika ada seorang yang shalat tidak sedekap setelah takbiratul ihram, agar diingatkan dengan hadits-hadits tersebut.
Adanya pemikiran, bahwa pada setiap gerakan shalat posisi tangan selalu bersedekap, kecuali jika ada pengkhususannya. Seperti ketika rukuk, posisi telapak tangan diletakkan pada lutut, ketika sujud diletakkan pada bumi, ketika duduk tasyahud diletakkan pada paha (lutut). Karena dalam posisi iktidal tidak ada dalil yang mengkhususkannya, maka kembali ke asalnya, yakni sedekap.
Hal ini sangat berbeda bagi mereka yang menyatakan sikap i’tidal adalah melepas tangan (tidak sedekap). Karena memahami awal sebelum shalat adalah melepas tangan, setelah bertakbiratul ihram, barulah ada perintah untuk bersedekap. Maka kembali ke asal berarti kembali ke posisi sebelum shalat, yakni melepas tangan.
Adanya pemikiran, pada setiap gerakan shalat posisi tangan selalu bersedekap, kecuali jika ada pengkhususannya. Seperti ketika rukuk, posisi telapak tangan diletakkan pada lutut, ketika sujud diletakkan pada bumi, ketika duduk tasyahud diletakkan pada paha (lutut). Karena dalam posisi iktidal tidak ada dalil yang mengkhususkannya, maka kembali ke asalnya, yakni sedekap.
Cara berpikir seperti itu perlu ditinjau kembali. Karena gerakan yang tidak ada pengkhususan bukan hanya sewaktu i’tidal. Saat duduk antara dua sujud juga tidak ditemukan dalil khusus. Jika pola fikir itu dilakukan, maka posisi tangan bersedekap bukan hanya pada saat i’tidal, melainkan juga saat duduk antara dua sujud.
Bagi kelompok kedua, baik posisi iktidal maupun duduk antara dua sujud semestinya sama-sama melepaskan tangan, dan tidak sedekap. Untuk kasus iktidal tidak menjadi masalah, namun untuk duduk antara dua sujud, jika dipraktikkan melepaskan tangan berakibat seperti duduknya orang yang sedang disiksa.
Maka secara terpaksa untuk duduk antara dua sujud posisi tangan tidak dilepaskan, melainkan dianalogkan dengan duduk tasyahud. Yakni telapak tangan kanan diletakkan pada paha atau lutut kaki kanan dan telapak tangan kiri diletakkan pada paha atau lutut kaki kiri.
Catatan Akhir
Yang menjadi kewajiban shalat adalah iktidal. Tentang tata caranya tentu tidak masuk dalam kewajiban shalat. Ulama mengatagorikan sunah shalat. Sama dalam kasus mengawali shalat. Yang menjadi kewajiban shalat adalah takbiratul ihram, tentang tata caranya tentu tidak masuk dalam kewajiban shalat.
Oleh sebab itu diharapkan setiap orang mengkaji lebih detail kemudian mencari mana yang diyakini lebih dekat untuk kesempurnaan shalatnya. Tanpa harus menyalahkan hasil ijtihad ulama lain. Dari analisa berbagai dalil di atas, tampaknya tidak sedekap lebih dekat dengan tuntunan.
Indahnya dalam kasus seperti ini merenungkan pernyataan imam Ahmad bin Hanbal, Jika seseorang bangkit dari rukuk, maka jika ia mau, ia bisa melepaskan tangannya (tidak sedekap) dan jika mau, ia pun bisa meletakkan tangan kanan pada tangan kirinya (sedekap). (*)
Editor Mohammad Nurfatoni