PWMU.CO – Dua insan sejoli ini sempat membuat saya tertegun dan kagum. Namanya Buang dan Buni, sama-sama berprofesi sebagai kuli. Pada awal tahun lalu keduanya berangkat umrah bareng satu travel dengan kami.
Bagaimana sepasang suami isteri yang cuma kuli bangunan bisa berangkat umrah bersama? Warga Kalijudan Surabaya asal Jember ini lahir dari keluarga miskin dan tidak sempat bersekolah, sehingga kompak buta aksara.
Sejak 1989 mereka bekerja di perusahaan pengembang milik pengusaha China, dengan gaji awal per hari seribu lima ratus rupiah. “Sekarang dibayar enam puluh ribu rupiah,” kata Buni mengenai upah kerjanya. Toh ia tetap mengaku beruntung karena suaminya sering dipercaya menjaga proyek bangunan sehingga dapat tambahan pendapatan per bulan tiga ratus lima puluh ribu rupiah.
(Baca juga: Nifas Bedah Caesar dan Bank Air Susu Ibu)
Lazimnya orang dari desa, penampilan mereka sangat lugu dan sederhana. Tapi justru pada keluguan dan kesederhanaannya tersimpan mutiara berharga. Mereka berdua pernah mendapat ujian akidah, dibujuk untuk masuk agama majikannya. Tapi ditolak mentah-mentah. “Urusan kerja ya kerja, agama ya agama,” ujar Buang layaknya seorang kiai yang sedang menasihati umatnya.
Sebuah pelajaran moral yang sangat berharga, di tengah kesulitan ekonomi dan keterbatasan pengetahuan agama, mereka tetap kokoh mempertahankan akidah. Dua orang ini punya prinsip bahwa agama adalah segalanya, yang tidak bisa ditukar dengan apa saja. Bahkan mereka berani mengancam akan keluar dari tempat kerja, jika masih dipaksa pindah agama. “Setelah itu, majikan tidak lagi pernah membicarakan masalah agama,” ungkapnya.
(Baca juga: Hukum Keluar Rumah di Masa Iddah dan Bagaimana Cara KB yang Islami?)
Termasuk dalam soal ibadah haji dan umrah, mereka yakini sebagai perintah agama yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Karena itu keduanya terus berusaha keras untuk dapat menunaikannya, meski sempat dicemooh oleh kolega dan tetangga.
Mereka sisihkan sebagian uang dari hasil kerjanya. Ditabung lalu dipakai modal bertani Sengon di kota kelahirannya. Uang hasil bertani itulah yang kemudian digunakan untuk biaya umrah berdua.“Biayanya sebagian dari jual pohon Sengon dan bantuan anak-anaknya,” kata Buni dengan logat Madura. Mereka memiliki lima anak yang juga kuli bangunan semua.
(Baca juga: Ini Dia Dua Hafidz Bersanad, Santri Muhammadiyah Madura dan Penebar Visi Islam Berkemajuan di Madura)
Di tanah suci semangat beribadahnya pun luar biasa. Sering bergerak lebih cepat dari anggota rombongan lainnya. Sehingga sempat beberapa kali dinyatakan hilang oleh tour leader-nya, tapi kemudian ditemukan sudah berada di pemondokan berdua.
Meski buta aksara, namun cerdas dalam menyelesaikan masalah. Setiap kali terpisah dari rombongan mereka tunjukkan kartu identitas kepada aparat untuk diantar ke pemondokannya.
Keduanya bermimpi tetap bisa berangkat haji, entah kapan mereka tidak mengerti. (Nadjib Hamid)