Ganti Presiden Ganti Visi
Di antara sejumlah tausiah Presiden Jokowi di hadapan peserta Apel Akbar ada kalimat yang ‘menggelitik” yaitu kalimat “Jangan sampai saat ganti pemimpin ganti visi ganti orientasi, sehingga kita harus mulai semuanya dari awal lagi. Sudah SD, SMP, SMA (lalu) ganti pemimpin, ganti visi sehingga mulai lagi SD, SMP, SMA. Lalu kapan kita S1, S2, S3 dan seterusnya?”
Kalimat Presiden bisa diartikan antiperubahan atau menginginkan program-programnya dilanjutkan oleh pemimpin selanjutnya. Kekhawatiran mulai semuanya dari awal lagi seperti melihat akan terjadi revolusi, bukan reformasi, perubahan yang perlahan dan berkesinambungan.
Revolusi pernah terjadi pada tahun 1945, perubahan fundamental dari kolonialisme menuju cita-cita nasionalisme. Perubahan dari Orde Lama ke Orde Baru juga terjadi revolusi akibat peristiwa besar juga berat G30S/PKI. Berikutnya pergantian kepemimpinan nasional dari Presiden Soeharto ke Presiden Habibie ditandai dengan semangat reformasi, bukan revolusi. Angin reformasi yang berhembus sejak 1998 sampai dengan tahun 2023 telah genap memasuki usia 25 tahun.
Selama 25 tahun berjalannya reformasi tidak ada pergantian kepemimpinan yang memulai kerja dari awal, hampir semua program dijalankan berkesinambungan. Bahkan pergantian pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru meskipun dinamai revolusi, beberapa program berjalan berkesinambungan.
“Anggapan bergantinya kepemimpinan nasional akan mengganti visi misi sama sekali tidak wajar. Visi misi dalam berbangsa bernegara tidak berubah, yang berubah adalah tawaran-tawaran cara kerja dari pemerintah dan wakil rakyat dalam mencapai tujuan berbangsa, bernegara.”
Terlalu berlebihan menganggap agenda perubahan akan merubah visi negara. Konstitusi negara UUD 1945 berisi visi dan misi Indonesia Merdeka yang telah ditetapkan sejak tahun 1945. Visi misi Indonesia Merdeka meliputi Melindungi Segenap Bangsa Indonesia dan Seluruh Tumpah Darah Indonesia, Memajukan Kesejahteraan Umum, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Ikut Melaksanakan Ketertiban Dunia yang Berdasarkan Kemerdekaan, Perdamaian Abadi dan Keadilan Sosial.
Untuk mewujudkan visi misi tersebut dibentuklah lembaga pemerintahan dan lembaga perwakilan rakyat yang dipilih melalui proses pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Masyarakat yang merasa puas dengan kinerja pemerintah dan perwakilan rakyat bertahan dengan pilihan mereka untuk lima tahun berikutnya. Begitu juga apabila pemerintah dan perwakilan rakyat dianggap kurang cakap, masyarakat berhak mencari alternatif penggantinya.
Dalam proses pemilu tersebut partai politik yang mengusung wakil rakyat, presiden, dan wakil presiden menawarkan program kerja untuk mewujudkan visi misi berbangsa bernegara. Sehingga adanya anggapan bergantinya kepemimpinan nasional akan mengganti visi misi sama sekali tidak wajar. Visi misi dalam berbangsa bernegara tidak berubah, yang berubah adalah tawaran-tawaran cara kerja dari pemerintah dan wakil rakyat dalam mencapai tujuan berbangsa, bernegara.
Agenda reformasi yang disepakati sejak 1998, bukan revolusi, memungkinkan program kerja pemerintah dan wakil rakyat sebelumnya yang dianggap baik dilanjutkan pemerintah dan wakil rakyat berikutnya. Demikian juga terhadap program-program yang dianggap menyimpang dari tujuan, pemerintah dan wakil rakyat yang baru terpilih memiliki hak untuk mengganti dengan program kerja lebih baik.
Pemahaman yang baik terhadap proses politik melalui pemilu sekali dalam lima tahun tidak membuat masyarakat terbelah. Persaingan memperebutkan suara masyarakat secara sehat dengan mengedepankan akhlakul karimah memungkinkan pesta demokrasi berlangsung meriah dan indah. Tetapi jika tujuan berdemokrasi hanya demi meraih kursi dan mengejar manfaat ekonomi, pesta demokrasi tidak ubahnya persaingan sengit antar angkutan umum yang berebut penumpang demi kejar setoran.
Pelanggaran demi pelanggaran terhadap rambu di jalan bahkan kecelakakaan yang merenggut nyawa manusia bisa jadi hanya akan menjadi catatan statistic belaka, bukan aib dalam demokrasi Pancasila yang memiliki sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Kedewasaan Muhammadiyah dalam menjunjung konsep Darul Ahdi wa Syahadah, demokrasi yang sehat tidak lagi butuh diajari. Justeru banyak kalangan yang perlu belajar demokrasi pada Muhammadiyah. Mengajari demokrasi pada warga Muhammadiyah kata pepatah Jawa koyo nguyahi segoro (seperti menggarami air laut). Wallahualambishawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni