Pak Jokowi, Jangan Ajari Warga Muhammadiyah Berdemokrasi

Presiden Joko Widodo

Pak Jokowi, Jangan Ajari Warga Muhammadiyah Berdemokrasi; Oleh Prima Mari Kristanto, pengamat sosial politik.

PWMU.CO – Kegiatan Apel Siaga Kokam (Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah) di Stadion Manahan Surakarta Jawa Tengah, Rabu (20/9/2023) yang dihadiri Presiden Jokowi alhamdulillah berlangsung sukses dan lancar. Kegiatan Kokam mengingatkan pada sukses Muktamar Ke-48 Muhammadiyah yang pembukaannya juga dihadiri Presiden Jokowi di Stadion Manahan Surakarta November 2022.

PWMU.CO merilis kegiatan tersebut di hari dan tanggal yang sama dengan judul berita Di Apel Siaga Kokam, Presiden: Masyarakat Jangan Terbelah karena Pemilu. Nasihat tersebut dipastikan bukan untuk warga Muhammadiyah yang telah dewasa melewati pemilu demi pemilu sejak 1955 sampai 2019 tanpa terbelah. 

Manajemen konflik menyikapi demokrasi sudah selesai di Muhammadiyah, baik demokrasi di internal maupun dalam ikut serta dalam proses bernegara. Hampir seluruh wilayah, daerah, cabang, dan ranting Muhammadiyah selesai menjalankan suksesi kepemimpinan masing-masing.

Mekanisme voting atau pemungutan suara untuk menentukan pemimpin tetap dijalankan, tetapi hasil pemungutan suara bukan segala-galanya. Sering didapati suara terbanyak langsung ditetapkan sebagai ketua. Tidak jarang pula yang memperoleh suara sedikit didaulat jadi ketua. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dijalankan tanpa banyak berteori.

Hikmah, kebijaksanaan, dan musyawarah seolah semakin jadi ‘barang langka’ dalam demokrasi di Indonesia. Voting atau pengambilan suara terbanyak dalam menetapkan keputusan seringkali mengabaikan suara terbaik, hikmah ,dan kebijaksanaan.

“Dugaan yang sering terjadi adalah masyarakat dibelah demi tujuan politik praktis, juga ekonomis oleh oknum elite politik.”

Beruntung Muhammadiyah berhasil merawat roh sila ke-4 dari landasan ideologi Pancasila. Demokrasi di internal Muhammadiyah tidak membuat warga Muhammadiyah terbelah. Demikian juga dalam menyikapi demokrasi dalam tataran berbangsa bernegara, tidak ada kisah warga Muhammadiyah terbelah karena beda pilihan partai atau presiden dan wakil presiden.

Secara umum tausiah-tausiah Presiden Jokowi baik dan penting, mengingatkan agar masyarakat tidak terbelah karena pemilu. Kehadiran segenap anggota Kokam dalam kegiatan tersebut menunjukkan soliditas Kokam yang masih ada dan terjaga. Kesiapsiagaan elemen Pemuda Muhammadiyah yang tergabung dalam Kokam bukan sekadar jargon, tetapi mampu dihadirkan dengan wujud nyata kekompakan di Surakarta.

Pemuda Muhammadiyah dan Kokam mewakili sebagian besar warga Muhammadiyah bahkan masyarakat Indonesia secara umum yang tidak suka konflik dan terbelah. Dugaan yang sering terjadi adalah masyarakat dibelah demi tujuan politik praktis, juga ekonomis oleh oknum elite politik.

Beragam narasi yang dilontarkan oleh beberapa oknum politisi kadang mengarahkan pada terbelahnya masyarakat. Dua kali pemilu terakhir masyarakat terbelah dengan istilah cebong dan kampret. Ada juga narasi yang memberi label kelompok tertentu sebagai intoleran, radikal dan lain-lain mengarah pada pembukaan ‘front‘ serta ‘hijab‘ di tengah masyarakat.

Sempat juga terlontar narasi politik identitas yang mengarah pada isu SARA (suku, agama, ras, antargolongan). Identitas yang menjadi petunjuk dan pembeda (furqan) antarindividu satu dengan lainnya, kelompok satu dengan lainnya bisa ‘digoreng’ untuk membelah masyarakat.

Memasuki pesta demokrasi tahun 2024 mendatang sejumlah partai politik telah membentuk koalisi untuk pencalonan presiden dan wakil presiden. Partai Nasdem, PKB, dan PKS menamakan koalisinya dengan Koalisi Perubahan dan Persatuan, dengan bakal calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar. Partai Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN dan PSI membentuk Koalisi Indonesia Maju dengan bakal calon presiden Prabowo Subianto. PDIP dan PPP yang mencalonkan Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden belum menamai koalisi mereka.

Baca sambungan di halaman 2: Ganti Presiden Ganti Visi

Presiden Joko Widodo

Ganti Presiden Ganti Visi

Di antara sejumlah tausiah Presiden Jokowi di hadapan peserta Apel Akbar ada kalimat yang ‘menggelitik” yaitu kalimat “Jangan sampai saat ganti pemimpin ganti visi ganti orientasi, sehingga kita harus mulai semuanya dari awal lagi. Sudah SD, SMP, SMA (lalu) ganti pemimpin, ganti visi sehingga mulai lagi SD, SMP, SMA. Lalu kapan kita S1, S2, S3 dan seterusnya?”

Kalimat Presiden bisa diartikan antiperubahan atau menginginkan program-programnya dilanjutkan oleh pemimpin selanjutnya. Kekhawatiran mulai semuanya dari awal lagi seperti melihat akan terjadi revolusi, bukan reformasi, perubahan yang perlahan dan berkesinambungan. 

Revolusi pernah terjadi pada tahun 1945, perubahan fundamental dari kolonialisme menuju cita-cita nasionalisme. Perubahan dari Orde Lama ke Orde Baru juga terjadi revolusi akibat peristiwa besar juga berat G30S/PKI. Berikutnya pergantian kepemimpinan nasional dari Presiden Soeharto ke Presiden Habibie ditandai dengan semangat reformasi, bukan revolusi. Angin reformasi yang berhembus sejak 1998 sampai dengan tahun 2023 telah genap memasuki usia 25 tahun.

Selama 25 tahun berjalannya reformasi tidak ada pergantian kepemimpinan yang memulai kerja dari awal, hampir semua program dijalankan berkesinambungan. Bahkan pergantian pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru meskipun dinamai revolusi, beberapa program berjalan berkesinambungan.

“Anggapan bergantinya kepemimpinan nasional akan mengganti visi misi sama sekali tidak wajar. Visi misi dalam berbangsa bernegara tidak berubah, yang berubah adalah tawaran-tawaran cara kerja dari pemerintah dan wakil rakyat dalam mencapai tujuan berbangsa, bernegara.”

Terlalu berlebihan menganggap agenda perubahan akan merubah visi negara. Konstitusi negara UUD 1945 berisi visi dan misi Indonesia Merdeka yang telah ditetapkan sejak tahun 1945. Visi misi Indonesia Merdeka meliputi Melindungi Segenap Bangsa Indonesia dan Seluruh Tumpah Darah Indonesia, Memajukan Kesejahteraan Umum, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Ikut Melaksanakan Ketertiban Dunia yang Berdasarkan Kemerdekaan, Perdamaian Abadi dan Keadilan Sosial.

Untuk mewujudkan visi misi tersebut dibentuklah lembaga pemerintahan dan lembaga perwakilan rakyat yang dipilih melalui proses pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Masyarakat yang merasa puas dengan kinerja pemerintah dan perwakilan rakyat bertahan dengan pilihan mereka untuk lima tahun berikutnya. Begitu juga apabila pemerintah dan perwakilan rakyat dianggap kurang cakap, masyarakat berhak mencari alternatif penggantinya.

Dalam proses pemilu tersebut partai politik yang mengusung wakil rakyat, presiden, dan wakil presiden menawarkan program kerja untuk mewujudkan visi misi berbangsa bernegara. Sehingga adanya anggapan bergantinya kepemimpinan nasional akan mengganti visi misi sama sekali tidak wajar. Visi misi dalam berbangsa bernegara tidak berubah, yang berubah adalah tawaran-tawaran cara kerja dari pemerintah dan wakil rakyat dalam mencapai tujuan berbangsa, bernegara.

Agenda reformasi yang disepakati sejak 1998, bukan revolusi, memungkinkan program kerja pemerintah dan wakil rakyat sebelumnya yang dianggap baik dilanjutkan pemerintah dan wakil rakyat berikutnya. Demikian juga terhadap program-program yang dianggap menyimpang dari tujuan, pemerintah dan wakil rakyat yang baru terpilih memiliki hak untuk mengganti dengan program kerja lebih baik.

Pemahaman yang baik terhadap proses politik melalui pemilu sekali dalam lima tahun tidak membuat masyarakat terbelah. Persaingan memperebutkan suara masyarakat secara sehat dengan mengedepankan akhlakul karimah memungkinkan pesta demokrasi berlangsung meriah dan indah. Tetapi jika tujuan berdemokrasi hanya demi meraih kursi dan mengejar manfaat ekonomi, pesta demokrasi tidak ubahnya persaingan sengit antar angkutan umum yang berebut penumpang demi kejar setoran.

Pelanggaran demi pelanggaran terhadap rambu di jalan bahkan kecelakakaan yang merenggut nyawa manusia bisa jadi hanya akan menjadi catatan statistic belaka, bukan aib dalam demokrasi Pancasila yang memiliki sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. 

Kedewasaan Muhammadiyah dalam menjunjung konsep Darul Ahdi wa Syahadah, demokrasi yang sehat tidak lagi butuh diajari. Justeru banyak kalangan yang perlu belajar demokrasi pada Muhammadiyah. Mengajari demokrasi pada warga Muhammadiyah kata pepatah Jawa koyo nguyahi segoro (seperti menggarami air laut). Wallahualambishawab. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version