PKI Selalu Menusuk dari Belakang, Kolom oleh Nur Cholis Huda, Penasihat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
PWMU.CO – September merupakan bulan kelam bagi negeri ini. Ketika kita sedang mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda yang ingin kembali menjajah Republik ini, tiba-tiba 18 September 1948 PKI melakukan pemberontakan di Madiun. Mereka mengumumkan mendirikan Republik Indonesia Sovyet dipimpin Amir Syarifudin dan Muso. Mereka banyak melakukan pembantaian terhadap umat Islam terutama tokoh agama.
Tidak mudah memadamkan pemberontakan ini. Sukarno mempertaruhkan wibawanya meminta rakyat memilih Sukarno-Hatta atau Amir-Muso. Sementara itu Jendral Soedirman memerintahkan pasukan di Jateng dan Jatim untuk menumpas pemberontakan itu dibantu para santri. Akhirnya sekitar tiga bulan pemberontakan bisa dipadamkan. Muso mati terbunuh dan Amir dihukum mati.
Namun komunis tidak dilarang. Perhatian utama Republik saat itu menghadapi agresi Belanda. Komunis bukan tantangan utama. Selain itu ada anggapan jika PKI tumbuh di bawah tanah maka lebih mudah besar dan sulit diawasi. Maka biarkan tumbuh di permukaan. Kesempatan ini ternyata dimanfaatkan baik oleh PKI.
DN Aidit masa kecilnya seorang santri dan pandai mengaji. Dia anak muda yang cerdas. Kini menjadi ketua PKI menyisihkan para seniornya yang dianggap kurang agresif. Dia membangun komunikasi dengan banyak kelompok: tani, buruh, wanita, pemuda, dan kelompok lain. Tentu dengan janji-janji yang menyenangkan.
Misalnya memberi harapan kepada buruh tani bahwa tanah yang digarap nanti akan menjadi milik mereka. Dari buruh tani menjadi petani pemilik lahan. Dalam waktu singkat, tidak sampai lima tahun berhasil menarik minat jutaan orang. Maka dalam pemilu 1955 PKI menjadi empat besar setelah PNI, Masyumi, dan NU.
Aidit condong ke RRT, tidak ke Sovyet. Tapi tidak mau mengikuti cara Mao Ze Dung yang merebut kekuasaan dengan kekerasan. Lalu menimbulkan banyak korban. Aidit pilih mendekati Bung Karno. Dia berlindung di balik karisma besar Bung Karno.
“Peristiwa Madiun masih segar dalam ingatan banyak orang. Maka ketika terjadi pembunuhan para jenderal oleh PKI, muncul rasa trauma yang mendalam di hati banyak orang.”
Sebenarnya itu saling menguntungkan. Bung Karno butuh partai untuk menghadapi Angkatan Darat yang sering tak sejalan dengan dirinya. Sebaliknya PKI butuh pelindung dari serangan Angkatan Darat yang memang anti-PKI. Setelah Bung Karno membubarkan Masyumi dan PSI yang anti PKI, maka kini musuh PKI hanya Angkatan Darat. PKI lebih leluasa.
Kemudian muncul ideologi Nasakom dari Bung Karno. Ini dipopulerkan di mana-mana. Sampai ke dunia internasional. Bung Karno ingin bicara ke dunia bahwa dia mampu menjadi pemersatu dunia dengan Nasakomnya. Tapi semua impian itu ambruk setelah terjadi G 30 S/PKI.
Menurut catatan Ali Said, wartawan yang mengikuti—dan banyak menulis—tentang G-30-S/PKI, jarak antara pemberontakan Madiun dan G30 S/PKI hanya 17 tahun. Peristiwa Madiun masih segar dalam ingatan banyak orang. Maka ketika terjadi pembunuhan para jenderal oleh PKI, muncul rasa trauma yang mendalam di hati banyak orang.
Mungkin ada juga calon korban peristiwa Madiun yang masih hidup. Trauma itu segera menguasai suasana batin masyarakat. Kalau para jenderal saja bisa dibantai apalagi rakyat kecil yang tidak punya pelindungan.
Dengan perasaan trauma yang mendalam itu maka muncul tekad: dibunuh atau membunuh. Siapa yang lebih dahulu, dia yang selamat. Mereka tidak ingin mati menjadi korban lagi seperti pada peristiwa Madiun. Tanpa salah mereka banyak yang dibantai. Peristiwa itu tidak boleh terulang.
Baca sambungan di halaman 2: Putar Kembali Film G 30 S/PKI