Posisi Wadah Guru Muhammadiyah
Perlu diingat, yang kita gagas di sini adalah organisasi guru (guru Muhammadiyah), bukan organisasi kepala sekolah. Ini menjadi sangat krusial dan harus dimaknai secara jernih, karena banyak terjadi dalam pembentukan organisasi guru, tetapi yang menjadi pengurusnya adalah para kepala sekolah.
Kita dapat membayangkan jika ada organisasi dosen, tetapi pengurusnya adalah para rektor, atau jika ada organisasi para camat, tetapi pengurusnya adalah para bupati, organisasi guru tetapi pengurusnya adalah kepala sekolah, dan tentu akal sehat mana pun tidak akan membenarkan.
Posisi guru dan kepala sekolah berbeda. Guru adalah bawahan dari kepala sekolah dan kepala sekolah adalah manajer sekolah yang mengurus para guru. Kepentingan guru sangat berbeda dengan kepentingan kepala sekolah, bahkan berhadapan sisi dalam banyak hal, seperti generator dan beban dalam sistem kelistrikan.
Ini menjadi tidak masuk dalam nalar sehat jika kepentingan guru disulap menjadi kepentingan kepala sekolah. Di sini posisi guru sebagai pribadi profesional yang tidak dapat diganti oleh siapa pun. Jika dalam hal ini ada kepala sekolah yang ingin berorganisasi, maka juga dapat mendirikan Ikatan Kepala Sekolah Muhammadiyah, Ikasamu misalnya, daripada mendompleng ke organisasi guru, yang bukan jatahnya.
“Organisasi profesional guru Muhammadiyah bukan perangkat majelis, bukan perangkat lembaga, dan juga bukan seperti paguyuban arisan dengan seragam batik yang sama.”
Pemilihan bentuk organisasi untuk mewadahi guru Muhammadiyah dalam sebuah organisasi profesional sangat penting. Ini adalah gagasan organisasi profesional, bukan forum obrolan biasa, sehingga membutuhkan bentuk organisasi yang profesional, mandiri, futuristik, dan akuntabel.
Organisasi profesional guru Muhammadiyah bukan perangkat majelis, bukan perangkat lembaga, dan juga bukan seperti paguyuban arisan dengan seragam batik yang sama. Karena majelis dan lembaga di Muhammadiyah tidak mempunyai wewenang membuat organisasi.
Majelis adalah pembantu pimpinan Persyarikatan untuk menjalankan misi di bidang masing-masing. Jika pendirian organisasi guru Muhammadiyah dibentuk oleh majelis (Dikdasmen) misalnya FGM (Forum Guru Muhammadiyah), maka anggota organisasi ini akan menjadi seperti anggota majelis biasa, atau pokja (kelompok kerja), atau seperti kepanitiaan seminar atau tim adhoc acara kumpul-kumpul.
Ini tentu akan menjadi tumpang tindih, karena pekerjaan majelis diambil organisasi ini. Tentu guru-guru di sini, apalagi organisasinya tidak akan menjadi mandiri karena selalu ada garis hierarki atas bawah. Yang lebih tidak menguntungkan lagi adalah hasilnya akan kontra produktif karena waktu dan energi anggota organisasi ini akan tersedot untuk melakukan pekerjaan yang bukan tugas pokok dan fungsinya. Tentu yang akan merugi adalah Muhammadiyah.
Memilih Organisasi Profesional
Ada dua pilihan jika guru Muhammadiyah akan membentuk organisasi profesional. Nama organisasi apa saja tidak masalah, mau ikatan, persatuan, atau yang lain. Pilihan minimalis, organisasi guru Muhammadiyah dapat menjadi organisasi otonom, misalnya IGM, Ikatan Guru Muhammadiyah. Muridnya saja mempunyai organisasi IPM, seharusnya para gurunya juga demikian. Ini tentu akan mempunyai makna dakwah yang sangat kuat, terutama di internal Persyarikatan.
Pilihan kedua adalah seperti organisasi lain PGRI, IGI, dan yang lain, yaitu organisasi Guru Muhammadiyah yang memperoleh legalitas dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jika ini yang dipilih, maka organisasi guru Muhammadiyah akan sangat berwibawa dan terpandang, karena dapat berkiprah secara luas di tingkat nasional, membersamai organisasi-organisasi guru yang lain yang sudah dilahirkan lebih dulu dan mapan, dan tentu sudah tidak hanya bermain di kendang sendiri.
Selamat mencoba, para guru Muhammadiyah yang hebat. Memang ini adalah tidak mudah, tetapi ikhtiar cemerlang adalah selalu di pundak Anda. (*)