Redaksi PWMU.CO secara khusus akan menurunkan 6 tulisan opini berseri dari Ma’mun Murod Al-Barbasy, dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP UMJ dan Alumni Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang.
Tulisan bertema besar tentang Islam dan Politik di Indonesia ini penting untuk menjelaskan “peran politik ” Muhammadiyah secara jernih—di tengah banyaknya kesalahpahaman yang dialamatkan pada ormas besar yang didirikan KHA Dahlan 105 tahun silam itu. Selamat menikmati! Redaksi.
PWMU.CO – Sudah cukup lama saya bermaksud menulis soal relasi politik Islam di Indonesia, utamanya terkait politik Muhammadiyah dan NU, namun selalu maju mundur. Penyebabnya, ada kekhawatiran kalau nanti tulisan saya akan dinilai sebagai bentuk provokasi dan pecah belah Muhammadiyah dan NU.
Meskipun kekhawatiran ini sebenarnya sangat tidak beralasan, sebab sejak lama saya termasuk orang yang concern untuk mencari konvergensi antara Muhammadiyah dan NU. Namun setelah menimbang banyak hal, termasuk sisi maslahat terkait data yang penting dan wajib ain dibaca oleh warga Muhammadiyah dan NU, akhirnya saya memberanikan diri untuk menulisnya.
Satu hal mendasar yang melatarbelakangi tulisan ini berangkat dari kenyataan atas perspektif yang menurut saya kurang tepat di kalangan warga Nahdliyin terkait Muhammadiyah dan politik. Terdapat kesalahpahaman yang akut, baik laten maupun manifest yang perlu didudukkan secara proporsional. Misalnya, konteks politik Orde Lama (era Demokrasi Liberal), Muhammadiyah selalu diposisikan secara nista sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam memarjinalkan peran politik NU dalam tubuh Masyumi.
Bukan hanya itu, saat ini ketika secara politik NU tampil dominan, tentu saja bila dibanding Muhammadiyah, pun tidak sedikit saya mendengar ucapan atau membaca pernyataan dari elit atau warga Nahdliyin yang cenderung tanpa dasar yang kuat dan akurat memojokkan atau lebih tepatnya mengkambinghitamkan Muhammadiyah. Misalnya ungkapan yang menyebut bahwa Muhammadiyah sudah “kenyang” selama Orde Baru berkuasa, sekarang giliran NU. Jadi semacam gantian. Bahkan ada juga ungkapan dan umpatan lainnya yang lebih tak pantas untuk saya tulis di sini.
Saya sendiri tidak paham, yang dimaksud “kenyang” di sini. Apakah pengurusnya secara pribadi yang “kenyang” karena Muhammadiyah dituduh memperoleh banyak jabatan politik di era Orde Baru? Kalau yang dimaksud demikian, tentu ini ungkapan yang salah dan tanpa dasar yang kuat. Selama Orde Baru berkuasa, justru Muhammadiyah dipimpin oleh orang-orang yang sangat sederhana, wara’, zuhud, dan sangat jauh dari kesan cinta dunia.
(Baca juga: Indonesia, Negeri Muslim Katanya)
Selama Orde Baru, lima orang pernah memimpin Muhammadiyah, yaitu KH. Ahmad Baidhawi (1962-1968, kurang lebih setahun lebih bersentuhan dengan rezim Orde Baru), KH Faqih Usman (1968, hanya beberapa bulan saja memimpin Muhammadiyah karena meninggal dunia), KH AR Fahruddin (1968-1990), Prof KH Ahmad Azhar Basyir MA. (1990-1995), dan Prof Dr Amien Rais MA (1995-1998, mengundurkan diri karena menjadi Ketua Umum DPP PAN).
Dari lima nama tersebut, nama yang relatif lama bersentuhan dengan kekuasaan Orde Baru hanya ada dua nama, yaitu KH AR Fahruddin dan Prof KH Ahmad Azhar Basyir. KH AR Fahruddin yang biasa disapa Pak AR adalah pegawai negeri rendahan—hingga akhir hayatnya hanya punya usaha sampingan dengan berjualan minyak tanah—hal yang mungkin tak lazim untuk ukuran orang nomor satu di organisasi sebesar Muhammadiyah.
Hingga wafatnya, Pak AR bahkan tak mempunyai rumah dan hanya menempati bangunan yang dibangun di atas tanah milik Muhammadiyah di Jalan Cik Di Tiro Yogyakarta. Beberapa waktu selepas Pak AR wafat, barulah tanah tersebut dibangun gedung untuk PP Muhammadiyah.
(Baca juga: Wacana Pemisahan Agama dan Politik adalah Pelecehan Pancasila)
Berikutnya KH Azhar juga tak kalah sederhananya. Bagi yang pernah bertandang ke kediamannya, mungkin tak percaya kalau itu rumah milik Ketua PP Muhammadiyah, yang hanya menempati tanah tak lebih dari 100 meter dan bentuknya pun begitu sederhana dan dengan perabotan seadanya.
Kalau Muhammadiyah dituduh “kenyang” di era Orde Baru, tentu setidaknya tergambar dari tampilan para ketuanya. Mereka tampil sederhana, rumahnya tidak seperti istana, kendarannya, jangankan mobil, sepeda motor pun butut seperti yang dimiliki Pak AR. Kalau “kenyangnya” Muhammadiyah dikaitkan dengan jabatan publik yang dimiliki oleh Muhammadiyah yang kemudian berimbas secara organisatoris terhadap Muhammadiyah, juga semakin ngawur dan tak berdasar.
Terkait pandangan yang begitu negatif ini, saya merasa perlu untuk meluruskan. Tujuannya supaya warga Nahdliyin tidak terus menerus disesatkan oleh pernyataan-pernyataan yang tanpa dasar oleh segelintir elit dan warga NU yang semata dilandasi oleh kebencian akut kepada Muhammadiyah, yang bangga dan bisa jadi diuntungkan kalau Muhammadiyah dan NU tetap bersitegang. Kebencian yang karena berangkat dari generalisasi yang cenderung ngawur bahwa di luar NU itu semuanya disebut dan dituduh sebagai Muhammadiyah.
(Baca juga: Kontroversi Masjid Raya Daan Mogot: Itukah yang Dimaksud Dhirar?)
Percayalah, kalau dalam hal urusan politik paktis, Muhammadiyah itu kalah segalanya dari NU. Muhammadiyah itu tak cakap sama sekali dalam berpolitik. Muhammadiyah sepertinya ditakdirkan dilahirkan bukan untuk berpolitik praktis. Sebaliknya, NU meski terlahir sebagai ormas Islam dan sudah tegas menyatakan kembali ke Khittah tahun 1983 pada Munas Alim Ulama di Situbondo dan diperkuat kembali pada Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di tempat yang sama, namun wajah politiknya tetap tampil lebih dominan. Apalagi NU sendiri pernah menjadi partai politik selama 21 tahun sejak 1952-1973, dan berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sejak 1973-1984, tentu waktu yang terbilang tidak sebentar.
Tidak tepat, untuk tidak mengatakan salah yang menyebut NU lebih sering dimarjinalkan secara politik. Justru sebaliknya, NU lebih sering menikmati “buah politik”. Bukan hanya saat ini, namun sejak kekuatan politik Islam masih berhimpun dalam Masyumi, sampai Demokrasi Terpimpin, kemudian berlanjut di era Orde Baru. Secara politik, NU menang segalanya dari Muhammadiyah. Muhammadiyah selalu kalah, karena memang sama sekali tidak bakat dalam berpolitik. Selain Muhammadiyah tak punya pengalaman menjadi partai politik, “urat malu” elit Muhammadiyah tampaknya lebih dominan, ketimbang “urat rakus” akan kuasa politik.
(Baca: Ketulusan KH Hasyim Muzadi dalam Menjalin Hubungan dengan Muhammadiyah)
Sekadar contoh bagaimana ketidakbakatan Muhammadiyah dalam berpolitik tergambar dari pendirian Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Seperti diketahui, ketika awal rezim Orde Baru berkuasa, eks Masyumi memohon agar rezim merehabilitasi nama baik Masyumi, namun rezim menolaknya dan lebih memberikan lampu hijau bagi pendirian partai politik baru yang kemudian diberi nama Parmusi. Partai ini dinahkodai oleh Ketua Umum Jarnawi Hadikusumo (putra Ki Bagus Hadikusumo) dan Sekjen Lukman Harun (mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah).
Tak lama kemudian, kepemimpinan Parmusi dikudeta oleh orang yang dipersiapkan rezim yang bernama Jelani Naro. Bukan hanya mengendalikan Parmusi, ketika fusi partai Islam menjadi PPP, Naro dengan dukungan rezim juga berhasil menguasai PPP. Bahkan pasca Naro, ketika kepemimpinan jatuh kembali ke tangan unsur Parmusi (Muslimin Indonesia) pun yang berkuasa bukan orang Muhammadiyah, tapi Ismail Hasan Metarium yang mendapat restu dan topangan rezim. Bagi sebagian elit dan warga NU, Ismail Hasan ini secara salah sering diposisikan sebagai Muhammadiyah, termasuk Aisyah Amini.
(Baca juga: Pembubaran Pengajian Khalid Basalamah: Benarkah Ceramah yang Mengolok-olok Monopoli Kelompok Ini?)
Ketika terjadi euphoria politik pasca Orde Baru, atas Rekomendasi Tanwir Semarang 1998, Muhammadiyah menginisiasi berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN) dengan Ketua Umum Amien Rais. Namun pasca Amien Rais, karena ketidakbakatan Muhammadiyah dalam berpolitik, PAN pun hingga saat ini selalu dipegang oleh ketua umum yang tak mempunyai irisan biologis maupun ideologis dengan Muhammadiyah. Paling banter hanya “dekat-dekat” dengan Muhammadiyah.
Bandingkan dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Saya sering guyon, andaikan PKB pecah jadi sembilan sesuai dengan jumlah bintangnya, saya yakin yang akan berkuasa adalah warga NU sendiri. Wong PPP yang merupakan hasil fusi empat partai Islam (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) saja ketika dilanda konflik dan terpecah dalam dua kubu seperti yang terjadi saat ini, yang berkuasa pun kader-kader NU. Ini fakta sejarah yang tak terbantahkan, sekaligus mematahkan tesis di kalangan sebagian elit dan warga NU yang menyebut Muhammadiyah rakus dan bahkan licik dalam berpolitik. (*)
Baca Selengkapnya :
- Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (1): Dituduh Kenyang di Era Orde Baru
- Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (2): Diidentikkan Masyumi dan Dituding Memarjinalkan NU
- Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (3): Dianggap Ingin Kuasai Jabatan Menteri Agama, Faktanya?
- Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (4): Tak Mau Menjilat Soekarno meski Dia Warga Persyarikatan
- Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (5): Katanya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Jatahnya, padahal …..
- Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (6): Dari Tudingan Memakzulkan Gus Dur hingga Diremehkan SBY