Cenderung Agnostik dan Asosial
Lebih lanjut Mu’ti menjelaskan terdapat beberapa indikator untuk mengukur rendahnya spiritualitas generasi Z. Paling tidak ada tiga ukuran yang dipakai oleh banyak penelitian. Pertama, pandangan mereka tentang makna agama bagi kehidupan. Mereka menganggap agama itu bukanlah sesuatu yang begitu diperlukan dalam kehidupan. Mereka tidak terlalu perlu dengan agama, karena memang mereka tidak mengalami banyak masalah dalam kehidupannya.
Bahkan yang menarik ketika kita berbicara tentang agama kepada generasi Z, sesuai dengan karakteristik mereka yang cenderung bebas dan ingin mendapatkan sesuatu secara mudah, kelompok-kelompok ini cenderung memaknai spiritualitas lebih sebagai ketenangan batin. Namun, tidak selalu berarti harus terikat dengan agama tertentu. Dalam kajian-kajian agama, hal semacam itu sering disebut sebagai kelompok New Age yang dikenal dengan slogannya, “Percaya kepada agama, menghormati agama, tetapi tidak mau terikat kepada agama tertentu atau agnostik”.
“Generasi ini tidak merasa agama itu perlu, agama itu penting. Bahkan yang menarik ketika kita berbicara tentang agama pada generasi milenial ini, sesuai dengan karakteristik mereka yang easy going yang cenderung bebas, dan mendapatkan sesuatu secara mudah, kelompok ini cenderung memaknai spiritualitas sebagai ketenangan batin. Namun tidak berarti dia harus terikat dengan agama-agama tertentu,” ungkapnya.
Kedua, generasi Z juga cenderung untuk longgar dalam relasi-relasi. Relasi antarkawan, bahkan juga relasi antaragama. Mereka sangat longgar karena lebih terbuka dan lebih menerima nilai-nilai universal daripada nilai-nilai yang memisahkan mereka.
“Jadi, persoalan menyangkut penerimaan terhadap hak asasi manusia, penerimaan terhadap perbedaan-perbedaan itu lebih tinggi di kelompok ini. Sebab mereka lebih cair, bergaulnya melintas batas. Oleh karena itu, tidak heran jika dalam hal tertentu mereka lebih terbuka terhadap apa yang mereka sebut sebagai universal values atau universal trend,” jelas Guru Besar Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Kecenderungan sikap itu dapat dilihat dalam kasus lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau biasa disebut LGBT. Kelompok generasi muda ini lebih mudah menerima perbedaan orientasi seksual tersebut daripada kelompok “kolonial” atau tua. Sikap pelonggaran yang diikuti oleh kebanyakan generasi Z berdampak pada demografi suatu negara.
Sebab mereka cenderung memilih untuk tidak menikah atau ingin menikah tetapi tidak memiliki anak, sehingga membuat pertumbuhan penduduk di suatu negara negatif. Realitas tersebut dapat ditemukan di negara-negara maju. Misalnya Singapura, Jepang, Korea Selatan, yang khawatir dengan masa depan negaranya karena anak-anak mudanya tidak mau berkeluarga apalagi mau punya anak.
Ketiga, generasi Z cenderung serba digital. “Seorang ibu membayangkan bahwa belajar itu menggunakan buku, tetapi anaknya belajar sudah menggunakan ponsel. Kelompok mereka ini memang sudah serba digital dan bisa mengakses informasi yang ada di genggaman tangannya,” jelas Mu’ti.
Baca sambungan di halaman 2: Generasi Pesolek dan Gengsi