Menyasar Guru
Workshop LKLB menyasar para guru karena berdasarkan survei dari UIN Jakarta tingkat radikalisasi dan intoleransi terindikasi terjadi pada level gressrooot. Dan, gurulah yang berhadapan langsung dengan masyarakat dan generasi masa depan, maka dari guru yang menyebarkan nilai-nilai yang baik ke muridnya.
“Tujuan dari workshop ini adalah membantu guru-guru menerapkan atau mengimplementasikan nilai-nilai literasi keberagaman lintas budaya di mata pelajaran yang mereka asuh. Misal bagi guru agama bagaimana menyisipkan nilai-nilai tentang keberagaman, toleransi, kesetaraan,” kata Daniel Adipranata.
Daniel berharap, melalui pendidikan moderasi beragama lintas budaya dan supremasi hukum diharapkan mampu membentuk tiga kompetensi. Pertama, kompetensi pribadi berupa perhatian dan kepedulian pada sesama.
Kedua, kompetensi melakukan komparasi (perbandingan) mengenal pribadi dan/atau umat agama lain. Ketiga, kompetensi kolaboratif, kerjasama antar umat beragama.
Umi Sarofah SPd MPd, Wakil Ketua Forum Silaturahmi dan Komunikasi Kepala Sekolah Muhammadiyah (Foskam) Jawa Timur, mewakili wakil Ketua Majelis Dikdasmen PWM JatimDr Khozin MPd, yang berhalangan hadir.
“Saya mengajak para guru yang hadir agar senantiasa berkomitmen menjadi guru baik harus diawali dari niatan yang baik,” kata Kepala Sekolah MI Muhammadiyah 5 Surabaya.
Yudiono, wakil ketua yayasan dari Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia Sekolah Gloria Surabaya, “Tupoksi saya di sekolah kristen Gloria yakni pengembangan SDM guru yang harus terus upgreading termasuk dengan mengikutkan guru dalam pelatihan literasi keagamaan lintas budaya kali ini,” katanya.
Penerapan P5 HAM
Sementara itu, Direktur Kerja Sama HAM Kemenkum HAM RI, Dr Harniati SH LLM, mengatakan kerja sama program LKLB antara Kemenkumham dan Institut Leimena merupakan bagian dari penerapan P5 HAM, yaitu Penghormatan, Perlindungan, Pemajuan, Penegakan, dan Pemenuhan HAM.
Para guru perlu dibekali kesadaran akan literasi keagamaan lintas budaya dan supremasi hukum agar terwujud penghormatan terhadap HAM termasuk dalam hal beragama.
“Mudah-mudahan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat maka supremasi hukum bisa kita capai bersama-sama,” kata Harniati.
Harnati dan Ruhaini sepakat bahwa moderasi keagamaan mengembangkan wasiatun diniahmelalui literasi keagamaan lintas budaya dalam kerangka supremasi hukum, outputnya diharapkan tidak hanya memberikan pengetahuan sekaligus kesadaran sehingga menjadikan guru sebagai ujung tombaknya.
“Guru merupakan agen perawat kerukunan beragama. Namun faktanya pembelajaran sering kali hyperreality, jauh dari realitas di masyarkat seakan menyebabkan tercerabutnya kesadaran masyarakat,” tutup Siti Ruhaini Dzuhayatin. (*)
Penulis Muhammad Syaifudin Zuhri Editor Mohammad Nurfatoni