Field Trip Ke Gereja Gloria
Trip ke Gereja Gloria adalah momen yang paling saya tunggu. Penasaran dengan bangunannya, pendetanya, dan segala sesuatunya. Meski sewaktu kuliah di Jurusan Perbandingan Agama IAIN Sunan Ampel Surabaya, saya belum pernah masuk ke dalam gereja. Berbagai pertanyaan sudah saya siapkan.
Begitu kelompok memasuki area GKA Gloria Pacar di Jalan Pacar, Ketabang Genteng Surabaya, kami disambut dengan deretan pendeta, ketua majelis ,dan pengurus yang mengatupkan kedua telapak tangan sambil tersenyum ramah sambil mengucapka , “Selamat datang, Selamat siang!”
Mereka tampak senang dan tanpa hentinya tersenyum lebar. Kami diajak berjalan menuju Gereja Gloria yang dibangun Belanda pada tahun 1927. Ada tiga prasasti yang tertempel di dinding gereja. Tulisannya mirip aksara Jawa. Salah satu prasasti itu terdapat angka tahun 1927.
Meski sudah berusia 96 tahun, gereja itu tampak terawat. Di dalamnya terdapat kursi-kursi kayu panjang dengan sandaran tegak lurus yang di atasnya terdapat barcode. Ada karpet merah yang menghubungkan pintu masuk ke altar atau panggung yang di atasnya terdapat salib berukurAn besar.
Pada dinding gereja terdapat pilar yang menjulang ke atas bentuknya lengkung menyatu dengan atap. Di atap itulah, pilar di sisi kiri menyatu dengan sisi kanan. Dilapisi wallpaper warna coklat dengan motif serat kayu. Di setiap pilar terdapat lampu berbentuk memanjang menyatu dengan pilar membuat suasana menjadi terang.
Keluar dari gereja, memasuki sebuah aula, kami diajak memasuki sebuah lorong dengan anak tangga menuju Gereja Gloria yang baru di lantai dua. Ukuran ruangannya lebih besar dan luas. Atapnya juga lebih tinggi dengan lebih banyak ornament di dalamnya. Seperti tulisan-tulisan ayat di Injil. Rangkaian bunga di beberapa sudut dan mimbar. Ada juga videotron di atas panggung yang menayangkan aktivitas kami di dalam gereja sejak saat masuk dan foto bersama.
Kegiatan dilanjutkan dengan dialog langsung dengan pendeta atau ketua majelis secara berkelompok. Kami mengikuti ketua majelis menuju ruang aula saat penyambutan. Bertanya seputar kegiatan gereja dan pandangan gereja terhadap agama lain.
Selesai dialog, kami disuguhi sebuah botol air mineral dan satu buah lemper berukuran gaban alias jumbo. Saya terheran-heran melihat lemper itu. Ukurannya sekepal tangan orang dewasa. Bentuknya bulat, berbeda dengan lemper pada umunya yang bentuknya lonjong pipih. Melihatnya saja, saya masih piker-pikir, “Habis enggah ya?”
Iseng-iseng saya tanyakan ke teman satu kelompok, Sektiningsih. ”Ini lemper bikinan sendiri atau bagaiman, Bu?” Bu Sekti, begitu kami menyapanya, menjawab dengan ringan, ”Pesan Bu Estu.”
Saya bertanya lagi, “Apakah ini menu kesuakaan para jemaah?” dia menjawab, ”Enggeh. Biasanya jemaah sini pesan lemper ini. Ini lemper terenak. Teksturnya empuk, isinya banyak,” jawabnya.
Dan benar saja, sepulang trip, lemper itu saya makan. Benar-benar lemper terenak yang pernah saya rasakan, empuk, gurih dan pastinya mengenyangkan. He-he-he-he.
Baca sambungan di halaman 3: Field Trip ke Masjid Toleran