Menghajikan Ibu
Dia lalu berangkat ke Mekah. Dia yakin kalau niatnya sungguh-sungguh mencari uang halal, Allah akan membantunya. Ternyata Allah membuka rezeki untuknya. Ketika kali pertama melihat Ka’bah, dia menangis haru. Tidak pernah terbayang dia bisa shalat di depan Ka’bah. Dengan pakaian ihram dia lama sekali duduk menghadap Ka’bah.
Lalu dia teringat ibunya. Alangkah bahagia ibu kalau aku bisa mengajaknya haji. Maka sejak itu dia berpikir bagaimana cara bisa menghajikan ibunya. Kalau ikut antre masih lebih 20 tahun lagi. Ibunya 20 tahun lagi sudah terlalu tua. Mungkin usianya tidak sampai.
Sejak itu dia pikirkan bagaimana cara bisa mengajak ibunya haji. Bagaimana cara mengumpulkan uang untuk biaya ibunya ke Mekah. Kapan waktu paling aman. Bagi dia inilah saat yang tepat membahagiakan ibunya. Haji. Haji. Itulah impian orang di kampungnya.
Dia berencana satu bulan menjelang haji, ibunya akan diminta datang dengan visa umrah. Terus tidak pulang sampai musim haji tiba. Lalu selesai menjalani ibadah haji baru ibunya pulang. Dia sudah memikirkan di mana ibunya tinggal selama sebulan menunggu masa haji. Bagaimana nanti di Arafah, di Mina, lempar jumrah sampai haji selesai.
Apa boleh umrah terus dilanjutkan haji?
Kalau ketahuan tidak boleh. Penduduk Arab sendiri kalau mau haji harus ada izin. Apalagi orang luar Arab Saudi. Saya sudah pikirkan semua itu. Yang penting ibu bisa haji. Kalau ibu sudah haji, saya akan menabung untuk modal pulang. Saya tidak ingin selamanya jadi tukang pijat di Mekah. Saya akan buka tempat pijat di NTB. Menikah dan berkeluarga di NTB. Saya ingin hidup normal bisa berkeluarga seperti orang lain.
Entah berapa orang lagi yang “nakal” dari jamaah umrah. Mestinya umrah hanya beberapa hari tapi tinggal sampai lebih sebulan. Itu disebabkan adanya antraen haji yang panjang. Orang lalu cari jalan sendiri-sendiri. “Niat menghajikan ibumu itu niat mulia. “Saya doakan semoga lancar,” kata saya sebelum berpisah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni