PWMU.CO – Di balik haji ada potensi ekonomi yang besar tapi belum dimanfaatkan Indonesia untuk memasoknya.
Demikian disampaikan Dirjen Haji dan Umrah Kementerian Agama dan Bendahara Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Hilman Latif MA PhD di acara Silaturahim Nasional (Silatnas) dan Tasyakuran Milad ke-75 Pondok Pesantren Karangasem Paciran Lamongan, Ahad (22/10/2023).
Prof Hilman mengungkapkan, kebutuhan makan jamaah haji setiap tahun berjumlah 25 juta kotak yang bahan-bahan makanannya semuanya diperoleh dari negara-negara lain.
“Saat ini Indonesia belum bisa menyediakan kebutuhan logistik makanan dengan jumlah yang cukup besar. Artinya kita belum bisa menghadirkan manfaat ibadah haji secara ekonomi,” ujar pria lulusan S3 Universitas Utrecht Belanda.
Dia menjelaskan, negara yang menyuplai bahan makanan kebutuhan ibadah haji seperti beras pandan wangi dari Malaysia), beras rojo lele, bumbu rendang, sayur mayur oleh Thailand), bumbu kuning dari India dan Pakistan, daging ayam kiriman Brazil, buah-buahan dipasok Amerika Latin, daging sapi dari Australia, daging kambing didatangkan dari Afrika.
”Lalu Indonesia dapat apa?” tanya Hilman. ”Alhamdulillah, dapat mabrur,” selorohnya disambut tawa hadirin.
“Kalau memang pemahamannya orang Indonesia hanya demikian, tidak masalah. Berangkatkan saja jamaah haji yang sebanyak-bayaknya yang penting mabrur dan barakah. Padahal al-Quran tidak menjelaskan demikian, tetapi memberikan manfaat,” tuturnya
Kalau ingin memanfaatkan peluang ekonomi di balik haji, kata dia, kita tak hanya menyiapkan petugas dan pembimbing haji, tetapi SDM yang ahli di bidang manajemen keuangan, transportasi, dokter, perawat, ahli pertanian yang kuat, ahli infrastruktur dan manifaktur.
Tafsir Ayat
Prof Hilman mengutip al-Quran surat al-Hajj ayat 26-28.
وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَٰهِيمَ مَكَانَ ٱلْبَيْتِ أَن لَّا تُشْرِكْ بِى شَيْـًۭٔا وَطَهِّرْ بَيْتِىَ لِلطَّآئِفِينَ وَٱلْقَآئِمِينَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ
وَأَذِّن فِى ٱلنَّاسِ بِٱلْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًۭا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍۢ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍۢ
لِّيَشْهَدُوا۟ مَنَٰفِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ فِىٓ أَيَّامٍ مَّعْلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ ۖ فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا۟ ٱلْبَآئِسَ ٱلْفَقِيرَ
Ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud.
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh
Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.
Menurut Hilman, pertama, makna spiritual diharapkan orang yang menjalankan ibadah haji akan menjadi ibadah yang mabrur.
Kedua, makna sosial terjalin ukhuwah Islamiyah yang kuat sesama kaum muslimin. Ketiga, makna ekonomi (iqtisodiyah) dalam konteks tafsir perdagangan (tijarah).
”Pertanyaanya, apakah kita sudah mengambil manfaat ekonomi dalam pelaksanaan ibadah haji, para petani, nelayan, peternak, dan pelaku ekonomi? Padahal ayatnya sudah jelas liyasyhadu manaafia lahum, artinya agar mereka menghadirkan berbagai manfaat untuk mereka,”kata guru besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Penulis Wahidul Qohar Editor Sugeng Purwanto