Pertanda Kiai Besar
Yi Man berperan penting dalam pergerakan organisasi Muhammadiyah di kawasan Paciran. Maka tidak heran lagi bila dai yang satu ini sangat terkenal di Paciran. Konon, sebagaimana diceritakan oleh satu cerita, tanda Yi Man akan menjadi kiai besar sudah muncul sewaktu dia memondok di Tunggul. Waktu itu diasuh oleh KH Amin atau yang biasa dipanggil Kiai Amin.
Pada suatu malam, ketika semua santri tidur dalam kegelapan, Kiai Amin berkeliling di pondok. Dia mendapati berkas sinar muncul dari salah satu santrinya yang sedang tidur. Dia tidak bisa mengenali siapakah pemilik cahaya tersebut. Malam sangat pekat. Kemudian dia mengikat sarung sang pemilik cahaya sebagai tanda. Seusai subuh, segera Kiai Amin bertanya kepada santrinya. “Sarung siapa di antara kalian yang semalam ada ikatannya?”
Yi Man remaja yang tidak tahu apa yang terjadi segera mengacungkan tangan seraya berkata, ”Saya kiai!”
Kiai Amin pun menganggukkan kepala penuh mafhum. Semenjak itu, hubungan Yi Man dan Kiai Amin semakin dekat. Kepercayaan Kiai Amin pun sangat tinggi. Hal itu diperkuat dengan karakter Yi Man yang sangat berbeda dengan santri-santri yang lain sehingga membuat Kiai Amin memberikan perhatian khusus kepadanya.
Bahkan Kiai Amin memilih Yi Man sebagai menantunya. Kiai Amin menjodohkan Yi Man dengan salah satu putrinya yang bernama Rahimah, yang pernah nyantri di Pondok Kranji. Akan tetapi pernikahan itu tidak berlangsung lama. Mereka berpisah secara baik-baik demi mempertahankan pendiriannya, yakni masih ingin fokus untuk menuntut ilmu.
Tetapi dia telah berjanji kepada Kiai Amin untuk menyambung tali kekerabatan dengannya. Kemudian, Yi Man memenuhi janjinya dengan menikahkan putrinya yang bernama Zakiyah dengan putra Kiai Amin yang bernama Ahmad Sabiq.
Tekun Ajari Santri
“Ngomong Yi Man, gak ono enteke (bicara Yi Man tidak ada habisnya),” ucap Kholifah, tetangga pondok sekaligus orang yang memasak untuk santri di Pondok hingga saat ini, saat diwawancarai (14/10/2023).
Bek Fah, sapaan akrabnya, menceritakan Yi Man sering main ke dapur guna melihat masakan untuk anak pondok. Selain itu, Yi Man juga sering turun mengunjungi pegawai di bawahnya sehingga pegawainya merasa dihargai. Ketika Yi Man masih kecil, dia sangat tekun dalam menuntut ilmu.
Saat sudah besar, dia sangat tekun dalam membangun pondok pesantren yang menjadi impiannya. Begitu juga ketika pondok pesantren impiannya telah jadi, dia selalu tekun dalam mengajarkan ilmu-ilmunya kepada santrinya. Yi Man selalu semangat menegakkan kalimat tauhid lewat pondok pesantren yang dibangunnya.
Seringkali Yi Man membenarkan kesalahan para santrinya dalam memahami tafsiran kitab Tafsir Jalallain. Dia sudah hafal kitab tersebut. Meskipun dengan duduk sambil memejamkan mata seolah tertidur, namun kesalahan baca dan makna santrinya dia bisa mendengar, mengetahui, dan menegur. Kemudian Yi Man membenarkan bacaan santri tersebut.
Suatu ketika, sampai pada salah satu ayat di surat ath-Thariq. santri yang membaca tafsir mekmanai kata thabaq dengan arti endok atau telur. Spontan saja Yi Man terbelalak dan menyuruh si santri membaca ulang. Santri tersebut mengulang kata yang sama.
Yi Man berseru, “Itu artinya undak atau tangga bukan endok!” Santri tersebut tersipu malu. Rupanya dia salah membaca tulisan pegon terjemahan santri sebelumnya. Terjemahan tersebut huruf alif-nun-dal-kaf dan dia membaca endok padahal semestinya undak.
Seiring berjalannya waktu, usia Yi Man semakin tua dan pondok pesantren yang dibangunnya semakin berkembang. Di masa sisa hidupnya, Yi Man bertekad untuk melaksanakan ibadah haji tujuh kali dan membangun panti asuhan.
Nyai Asmani, Istri Yi Man yang saat ini masih sehat, menceritakan saat suaminya masih hidup. Yi Man berkata, ”Mati, matio aku nek wis gawe panti asuhan (Saya rela meninggal dunia kalau saya sudah bisa membangun panti asuhan).” Hal itu seakan menjadi misi terakhir pengabdian Yi Man dalam hidup.
Yi Man sudah berkali-kali menyatakan tekadnya kepada pengurus pondok untuk mendirikan panti asuhan. Namun, para pengurus pondok bertekad untuk menghalangi niat baik tersebut. Akan tetapi, takdir berkata lain. Tanah yang direncanakan sebagai tempat berdirinya panti asuhan telah ditemukan dan dibeli oleh pondok.
Mulailah pembangunan panti asuhan terlaksana. Namun saat gencar-gencarnya pembangunan, Yi Man terkena penyakit diabetes yang mulai menghambat aktivitasnya. Usia dia saat itu 70 tahun. Gurat-gurat kelelahan fisik semakin tampak ditambah pengaruh penyakit diabetes yang makin melemahkan daya tahannya. Namun semangat Yi Man tidak pernah berkurang sedikit pun untuk menegakkan agama Islam, selalu berjuang di jalan Allah.
Baca sambungan di halaman 4: Keranda di Atas Lautan Manusia