PWMU.CO – Semasa hidupnya, tokoh karismatik, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah KH AR Fakhrudin-akrab dipanggil Pak AR-ini memberikan wasiat kepada kader Persyarikatan untuk melawan jebakan lingkaran kebodohan dengan independensi sikap dan manajemen pengelolaan organisasi.
Pak AR mengingatkan jangan sampai Cabang Muhammadiyah mendirikan bangunan-bangunan dengan cara mengharapkan bantuan dari Pemerintah. Lebih-lebih lagi mengharapkan bantuan uang keuntungan lotre dari Yayasan Dana Bantuan.
(Baca: Kisah Pak AR Ajari Mahasiswa Cara Hadapi Kristenisasi dengan Jurus Cerdas)
Lebih tidak pantas lagi, kata Pak AR, kalau mengharapkan bantuan dari negeri asing, dari negara-negara Kristen dan dari negara-negara komunis. Karena uang-uang yang demikian, tidak akan memberi berkah. Sebaliknya, malah akan membawa sesuatu yang tidak baik.
Pak AR menyebut jebakan musuh-musuh Islam yang berbahaya adalah memasukkan ide mereka dalam kamuflase pengetahuan. Sehingga umat Islam mengalami krisis akan kebenaran pengetahuan. Yakni, mencampurkan yang haq dengan yang batil.
Krisis pengetahuan terjadi akibat pemahaman yang diperoleh dari sumber yang salah atau tidak otoritatif. Meyakini sumber yang salah tersebut sebagai kebenaran juga karena minimnya pemahaman tentang data atau referensi yang otoritatif. Ditambah pendidik atau pemberi informasi juga tidak otoritatif, kemudian memaksakan pemahamannya kepada peserta didik untuk diyakini.
(Baca juga: 4 Pesan Pak AR untuk Calon Pengantin)
Akhirnya, pengetahuan yang diperoleh (sekalipun keliru) diyakini sebagai sebuah kebenaran dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Jika sistem demikian mendominasi dalam masyarakat, tidak mustahil masyarakat Islam akan kembali menjadi masyarakat jahiliyah.
Siklus tersebut diistilahkan sebagai ‘Lingkaran Kebodohan’. Tentu menjadi masalah besar apabila sistem tersebut mendominasi dalam suatu masyarakat. Al-Farabi dalam karyanya ‘Ara ahl al-Madinah al-Fadhilah’ memasukkan kondisi masyarakat di atas ke dalam kriteria ‘Kota Jahiliyah’.
Di mana masyarakatnya masih parsial dalam memahami makna kebahagiaan. Makna kebahagiaan hanya dipahami dari sisi kecukupan materi dan fisik. Artinya, kebahagiaan adalah bersifat empiris dan konsumtif. Pandangan masyarakat pada umumnya masih menjadikan harta sebagai tujuan utama dengan mengabaikan sisi moral dan agama.
(Baca juga: Mengkafirkan dan Mencaci Pelaku Bid’ah Bukanlah Ajaran Muhammadiyah. Begini Tutur Pak AR)
Kemegahan rumah dan bangunan diyakini sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. Kuantitas materi, keindahan fisik dan style adalah utama yang perlu diperhatikan. Maka, tingkat kejahiliyahan suatu kota tergantung seberapa besar kecenderungan materi mendominasi masyarakat.
Selanjutnya Baca Hal 2