PWMU.CO – Din Syamsuddin hadir dalam Ngaji Kebangsaan bertema Meneguhkan Politik Kebangsaan Berkemajuan. Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Malang mengadakannya di Masjid Khadijah, Jalan Arjono No 19 A Kauman, Klojen, Kota Malang, Ahad (29/10/2023).
“Politik kebangsaan dimunculkan Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada periode 2000-2005 di era kepemimpinan Buya Syafi’i Ma’arif dan saya wakil ketua. Ini adalah improvisasi, pengembangan, dari khittah politik Muhammadiyah yang disepakati di Muktamar tahun 1971 di Makassar,” ujar Prof Din, sapaan akrabnya, mengawali pengajian itu.
Khittah politik itu, kata Prof M Din Syamsuddin MA PhD, berbunyi: “Muhammadiyah tidak mempunyai hubungan struktural, organisatoris, dan tidak berafiliasi dengan partai politik manapun.”
Dia menyatakan sangat memahami latar belakang suasana kebatinan warga Muhammadiyah waktu itu. “Karena Muhammadiyah di awal orde baru melanjutkan peran politiknya dengan mendukung sebuah partai Islam baru yang diharapkan melanjutkan Partai Politik Masyumi. Sebuah partai Islam tunggal di era orde lama. Walaupun kemudian NU dan PSII keluar dari Masyumi,” ungkapnya.
Dia juga mengenang, Masyumi saat itu menjadi partai besar. Adapun Muhammadiyah secara kelembagaan menjadi anggota istimewa Masyumi.
“Begitu ada momentum politik baru di awal orba, kalangan umat Islam, 16 ormas Islam, Muhammadiyah di depan, ingin menghidupkan kembali Masyumi pada Kongres 1967 di Kota Malang,” terang Prof Din.
Prof Din lanjut bercerita, Kongres menghidupkan kembali Masyumi dilarang oleh rezim orba Soeharto. Maka lahirlah Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) sebagai partai Islam baru di awal orba dengan ketua umum dari Muhammadiyah, Jarnawi Hadikusuma, Sekretaris PP Muhammadiyah. Dengan Sekretaris Umum dari Muhammadiyah, Lukman Harun, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah.
“Itulah keterlibatan Muhammadiyah dalam politik kebangsaan. Luar biasa harapan umat Islam!” ujarnya.
Berdasarkan analisisnya, inilah latar belakang Muktamar 1971 melahirkan keputusan Khittah politik Muhammadiyah sebagaimana tersebut di atas.
Kebebasan Berpolitik Warga Muhammadiyah
Dari khittah politik Muhammadiyah itu, Prof Din menegaskan, “Muhammadiyah tidak ada hubungannya dengan Partai Amanat Nasional (PAN) yang didirikan tokoh-tokoh Muhammadiyah bahkan dipimpin mantan ketua Muhammadiyah yang masih eksis sampai sekarang.”
Demikian pula, sambungnya, Muhammadiyah tidak ada hubungannya dengan Partai Ummat. “Tidak ada hubungan dengan partai manapun yang lain. Itulah Muhammadiyah kita secara organisatoris. Selama itu sampai sekarang, PP Muhammadiyah, memberi kebebasan kepada warga Muhammadiyah untuk berjuang lewat partai politik yang banyak,” tuturnya.
Prof Din yang kini menjadi Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Pondok Labu itu mengenang sambutannya selama menjadi ketua umum PP Muhammadiyah. “Bertebaranlah di banyak partai politik. Masuklah ke wilayah politik lewat pintu-pintu yang banyak,” tuturnya.
Di PRM Pondok Labu yang kini dia pimpin itu ada penasihatnya. “Ketua Penasihat Prof Dr Jimli Assidiqi, sekarang menjadi Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), yang membuat pernyataan luar biasa terakhir ini. Yang boleh jadi nanti akan membatalkan keputusan MK tentang perubahan batas minimal…” ujarnya.
Tanpa ditanya, Prof Din mengungkap pendapatnya, “Supaya ke depan kader-kader ummat usia 30 tahun boleh menjadi presiden. Biar ketahuan nanti akibatnya.”
Anggota penasihat lainnya ada Prof Dr Riyas Rasyid, mantan Mendagri. Ada pula Prof Dr Jurnalisudin, Pendiri Yarsi. Juga Dr Adi Sasono (almarhum). Jamaah riuh ketika Prof Din menyebutkan anggota ke-5. “Anggota penasihat PRM Pondok Labu itu bernama Dr Anies Baswedan. Yang saya dengar mau mencalonkan diri menjadi presiden,” ujarnya.
“Saya dengar-dengar saja. Kalau betul beliau berhasil, maka PRM Pondok Labu punya presiden. Maka Ketua Pimpinan Rantingnya nggak cocok kalau jadi menteri,” candanya.
Baca sambungan di halaman 2: Muhammadiyah Selalu Terlibat Politik Kebangsaan