Muhammadiyah Selalu Terlibat Politik Kebangsaan
Pada Sidang Tanwir Muhammadiyah yang Prof Din lupa tahunnya, saat itu dia menjadi wakil ketua, ada desakan dari wilayah-wilayah. “Kalau khittah Muhammadiyah seperti itu seolah-olah Muhammadiyah tidak aktif politik kebangsaan. Seolah-olah Muhammadiyah tidak boleh berpolitik,” ungkapnya.
“Padahal Muhammadiyah tidak pernah tidak berpolitik. Berarti selalu berpolitik. Sejak awal pendirian Muhammadiyah, 1912, Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan terlibat gerakan Budi Utomo, gerakan kebangsaan, cikal bakal nasionalisme Indonesia yang melahirkan kemerdekaan Indonesia,” imbuhnya.
Dia mengenang, pada suatu masa, aspirasi politik Muhammadiyah diserahkan kepada Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII). “Supaya Muhammadiyah fokus dalam kegiatan dakwah di berbagai bidang. Tapi politik bukan diserahkan begitu saja. Hampir Tokoh Muhammadiyah, KH Mas Mansyur, mendirikan Partai Islam Indonesia (PII) tapi tidak jadi.
Setelah kemerdekaan, Muhammadiyah ikut terlibat mendirikan Masyumi. Banyak tokoh Muhammadiyah menjadi pimpinan Masyumi.
Politik Ajaran Islam
Prof Din menjelaskan, politik adalah bagian dari ajaran Islam yang berdasarkan Tauhid. Di mana Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, pendidikan, kesenian, dan politik.
“Islam tidak menganut paham separatisme antara politik dan agama. Keduanya menyatu dalam lingkup ajaran Islam yang total berdasarkan Tauhid,” ungkapnya.
Menurut hasil bacaan buku Prof Din ketika menjadi mahasiswa University California Los Angeles (UCLA), Imam Al-Ghazali dalam kitabnya berbahasa Persia, mengatakan pemimpin agama dan politik itu sama. “Agama dan kekuasaan politik itu saudara kembar yang terlahir dari satu ibu,” ungkapnya.
Di kitab lainnya, Imam Ghazali mengatakan, “Kepada manusia, Tuhan mengirim nabi-nabi dan pada mereka diberi bekal wahyu. Begitupula Tuhan kepada umat manusia, mengirim raja-raja. Dan kepada mereka diberi bekal, kekuasaan, dan cahaya Ilahi.”
Masih kata Imam Al-Ghazali, “Keduanya, nabi dan raja, punya misi yang sama: menciptakan kemaslahatan bagi manusia.”
“Maka tidak mungkin umat Islam termasuk warga Muhammadiyah mengabaikan politik,” kata Din Syamsuddin yang menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-2015.
“Kalau sampai abai terhadap politik, penganut cuekisme, maka kita akan menjadi korban permainan politik kelompok-kelompok lain. Jangankan abai, kita sudah berpolitik pun masih bisa kalah,” tambahnya.
Prof Din miris, karena Umat Islam yang besar jasanya dalam mendirikan kemerdekaan negara, tapi posisinya dalam kehidupan nasional terpinggirkan. “Hati saya miris karena apa yang kita amati dalam kehidupan nasional kita, posisi umat Islam tidak sebanding dengan jasa dan perannyan di Republik ini,” ujarnya.
“Umat Islam terpinggirkan, bahkan tertuduh lewat isu radikalisme, politik identitas, anti bhinneka tunggal ika, intoleran. Itu tuduhan-tuduhan. Mereka menggunakan tuduhan itu untuk memiting lawannya sehingga tidak bisa bergerak,” ungkapnya.
“Mereka menuduh umat Islam anti bineka tunggal ika padahal di saat yang sama mereka yang anti bineka tunggal ika. Mereka menuduh umat Islam sebagai pelaku politik identitas, padahal mereka pada saat yang sama sedang menampilkan politik identitas,” tambahnya.
Ketua Dewan Pertimbangan MUI 2015-2020 itu menegaskan, “Umat Islam tidak perlu diperlakukan seperti anak emas. Kita tidak menuntut itu. Tapi jangan sekali-sekali meminggirkan umat Islam!”
Dia juga berpesan kepada warga Muhammadiyah, “Jangan gila jabatan. Harus punya prinsip.”
Baca sambungan di halaman 3: Momentum 2024