PWMU.CO – Dakwah viral pakailah prinsip bilisani qaumihi. Terjemahan bebasnya berdakwah memakai bahasa kaumnya.
Saran itu disampaikan oleh Fahd Pahdepie, CEO Inilah.com saat diskusi di Rakerwil MPID PWM Jawa Timur di Gedung Muhammadiyah Jatim Jl. Kertomenanggal, Sabtu (4/11/2023).
Fahd Pahdepie menyampaikan topik bahasan Berbagi Kiat Membangun Narasi Islam Berkemajuan dalam Dunia Digital.
Istilah bilisani qaumihi diambil Fahd Pahdepie dari surat Ibrahim: 4.
وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِۦ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.
Dalam paparannya Fahd mengatakan, peneliti sering mengatakan karakter komunitas Muhammadiyah berasal dari kaum urban, terpelajar, berpenghasilan menengah ke atas.
Segmen ini seringkali dikategorikan sebagai kaum elite baru atau kaum terpelajar. Masalahnya, secara statistik, jumlah kaum elite dengan indikator lulus D3 ke atas tidak pernah lebih dari 7 persen dalam populasi masyarakat Indonesia.
Sementara masyarakat tamat SD 41,80 persen. Tamat SD 19,90 persen. Tamat SLTA 30,50 persen.
”Apakah ini masih relevan?” tanyanya. ”Mengapa kita mempertahankan karakter elite ini?”
Dalam empat dekade terakhir, masyarakat Indonesia terus berubah. ”Lantas adakah hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan perilaku beragama masyarakat?” tanyanya lagi.
Dia menyarankan, Muhammadiyah perlu segera keluar dari karakterisasi urban, terdidik, dan menengah-atas ini. Karena kenyataannya profil warga Muhammadiyah di lapangan tidak sesuai dengan karakterisasi tersebut.
Dia mengatakan dakwah Muhammadiyah harus menemukan narasi dan pendekatan baru di tengah masyarakat yang berubah.
”Di tengah masyarakat yang berubah, religiusitas dan spiritualitas masyarakat ikut berubah. Apakah Muhammadiyah bergerak ke sana?” ujar alumnus Universitas Monash Australia ini.
Fahd menjelaskan, pertumbuhan ekonomi masyarakat jarang dikaitkan dengan kecenderungan beragama dan tingkat spiritualitasnya.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, kata dia, melihat korelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan kecenderungan beragama ini menjadi sangat penting—karena kekhususan konteksnya. Terutama fenomena munculnya new born muslims atau komunitas hijrah.
Produk domestik bruto perkapita Indonesiayang terus naik tiap tahun mempengaruhi religiusitas. Kini pendapatan per kapita mencapai 4.500 dolar. Pertumbuhan ekonomi masyarakat ini memengaruhi kebutuhan beragam.
GDP per capita Jakarta 8,975 dolar, Surabaya 7,526 dolar, dan Bandung 4,356 dolar, pendapatan tiga kota yang berbeda juga berbeda dalam konsumsi dakwahnya.
Dia mencontohkan kenapa sekarang masyarakat menyukai dakwah kelompok Salafi dibandingkan Muhammadiyah, itu karena kebutuhan religiusitas dan spiritualitas masyarakat berubah. Mereka menemukan di dakwah Salafi.
Mengapa ceramah Ustadz Adi Hidayat yang Muhammadiyah disukai masyarakat, menurut dia, karena materi yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan basic neednya.
Penulis lulusan UMY itu mengatakan, dilihat dari tema-tema pengajian, jenis kegiatan, dan pendekatan yang dilakukan Muhammadiyah untuk melakukan dakwahnya, sejauh ini masih berkesan elite dan terpisah dari kebutuhan publik.
”Muhammadiyah perlu lebih berbenah dalam hal narasi dan keberpihakan. Relevansi narasi menjadi hal yang sangat penting dirumuskan oleh Muhammadiyah saat ini dan ke depan,” ujar alumnus Pondok Pesantren Muhammadiyah Garut.
Untuk membangun relevansi kepada publik, dia menganjurkan, Muhammadiyah harus mulai memikirkan tema-tema yang lebih ‘membumi’ dan relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Misalnya, saat ini isu seperti pinjol, judi slot, dan pornografi menjadi isu menjadi perhatian publik.
Penulis Fatma Melani Putri Editor Sugeng Purwanto