Laskar Sabilillah dan Resolusi Jihad
Mohammad Asyik bin Akhyar lahir tahun 1926, sebagai anak pertama dari lima bersaudara dan yatim sejak kecil. Maka sejak remaja Mohammad Asyik bekerja untuk memenuhi kebutuhan ibu dan adik-adiknya dengan menjadi tukang Sepuh (pencuci dan pelapis perhiasan emas) di pasar Blimbing Kota Malang.
Dia tinggal di seberang depan sebuah masjid di pertigaan Jalan Ahmad Yani Kota Malang. Di masjid inilah yang mengumpulkan para pemuda Muhammadiyah kota Malang guna membentuk Laskar Sabilillah, untuk bergerak menjawab Resolusi Jihad 22 Oktober 1945.
“Menjawab seruan Resolusi Jihad, arek-arek Malang segera tergabung dalam Laskar Sabilillah langsung bergerak (longmarch) menuju Surabaya membantu pertempuran 10 November 45,” kata Mohammad Asyik yang sering menceritakan saat anak-anaknya kecil dulu.
Menurut cerita ayah, pertempuran Surabaya berlangsung tidak seimbang secara persenjataan. Para pejuang Indonesia bertahan dan melawan dari gempuran alutsista canggih tentara Sekutu yang menyerbu dari segala penjuru darat, laut, dan udara.
“Dahsyatnya pertempuran Surabaya menunjukkan semangat pejuang Indonesia terus bertahan dan melawan beberapa hari di Surabaya dan membuat ribuan korban meninggal di kedua belah pihak,” cerita Mohammad Asyik.
Menurutnya, setelah tahu perlawanan pejuang Indonesia makin menurun dan tentara Sekutu terus merangsek maju, maka semua pejuang diperintahkan untuk mundur, dan tetap melakukan pertempuran secara sporadis dan gerilya dalam kelompok kecil-kecil.
“Kami diperintahkan mundur dan berpencar dalam kelompok kecil-kecil untuk memecah konsentrasi tentara Sekutu. Pejuang terus mundur dan bertempur di segala penjuru keluar Surabaya,” jelasnya.
Maka ada yang mundur dan bertempur ke Selatan ke Mojokerto, Kediri hingga Blitar. Ada yang mundur ke Tenggara menuju Pandaan hingga Malang. Ada yang ke Timur ke Pasuruan sampai Probolinggo, dan lain-lain.
“Setelah diperintah mundur, dari Wonokromo kelompokku geser ke timur dan diselamatkan penduduk dan kai disembunyikan di langgar (mushala kecil) di daerah Tambak Oso, Waru Sidoarjo,” papar ayah saat itu.
Dia dan beberapa pejuang bergeser ke daerah Mindi, Porong, Sidoarjo (kini terendam lumpur Lapindo), terus bergeser ke Kali Bader, Jabon, Sidoarjo, dan berakhir di Bangil, Pasuruan.
“Setelah perang reda dan keadaan jadi damai. Para pejuang yang selamat ada yang pulang ke kampung halamannya. Banyak pula yang menetap dan tinggal di tempat ia bertempur,” terangnya.
Akhirnya Mohammad Asyik memutuskan tinggal dan berkeluarga di Bangil, Pasuruan. Menikah dengan Latifah di tahun 1960-an dan dikaruniai tujuh anak. Saya anak terakhir atau ketujuh.
Keluarga Asyik-Latifah tinggal berdempetan dengan kompleks Pondok Pesantren Darul Ulum Gondang, Bangil yang diasuh almarhum Kiai Muhdlor, merupakan salah satu pesantren kuno (salaf, NU) di Bangil Pasuruan.
Pribadi Mohammad Asyik yang pendiam dan beradaptasi dengan lingkungan masyarakat sekitar sehingga tidak memunculkan jiwa Muhammadiyah. Bahkan, saya tidak tahu jika ayah orang Muhammadiyah.
Baca sambungan di halaman 3: Kesaksian Ibu