3. Hadits yang diriwayatkan Wail bin Hujr RA
فَلَمَّا سَجَدَ وَقَعَتَا رُكْبَتَاهُ اِلَى الأَرْضِ قَبْلَ اَنْ تَقَعَ كَفَّاهُ … وَ اِذَا نَهَضَ نَهَضَ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَ اعْتَمَدَ عَلَى فَحِذَيْهِ (رواه ابو داود)
“Apabila Nabi sujud, beliau meletakkan kedua lututnya di bumi sebelum kedua tangannya … dan apabila beliau bangkit, maka beliau bangkit atas lututnya dan bertekan pada pahanya”. HR Abu Daud.
Hasil penelitian: Hadits di atas dikeluarkan oleh Abu Daud dalam al-Sunan: (839) dengan sanad (mata rantai perawi) sebagai berikut: Muhammad bin Muammar, dari Hajaj bin Minhal, dari Hamam bin Yahya al-Audi, dari Muhammad bin Jahadah al-Adawi, dari Abdul Jabbar bin Wail bin Hujr, dari Wail bin Hujr ra.
Sanad di atas umumnya perawi tsiqat (terpercaya) kecuali Abdul Jabbar bin Wail bin Hujr. Sebenarnya perawi ini juga tsiqat hanya saja ia meriwayatkan dari bapaknya secara terputus, artinya ia sendiri tidak pernah mendengar (langsung) dari bapaknya, demikian yang diterangkan oleh Abu Hatim.
Menurut pengamatan yang jeli antara Abdul Jabbar dan bapaknya terdapat al-inqata’ (terputus) karena ketika bapaknya meninggal dunia ia masih belum lahir atau ada pendapat ia masih terlalu kecil dan belum mumayiz (belum bisa membedakan antara yang baik dengan yang tidak baik). [Periksa Tahdzib al-Tahdzib: 6/105; Al-Jarh wa Al-Ta’dil: 6/30; Al-Taqrib: pada halaman 32]. Dengan demikian hadits ini juga lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah.
4. Hadits yang diriwayatkan Anas bn Malik RA
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَبَّرَ فَحَاذَى بِاِبْهَامَيْهِ أُذُنَيْهِ ثُمَّ رَكَعَ حَتَّى اسْتَقَرَّ كُلُّ مُفَصَّلٍ مِنْهُ وَ انْحَطَّ بِالتَّكْبِيْرِ حَتَّى سَبَقَتْ رُكْبَتَاهُ يَدَيْهِ (رواه الحاكم و الدار قطنى)
“Saya melihat Rasulullah saw ketika bertakbir beliau mensejajarkan ibu jari kepada kedua telinganya, kemudian beliau ruku’ sehingga tiap-tiap persendian kembai kepada posisi semula, kemudian beliau memanjangkan lafaz takbir sambil turun sujud. Maka kedua lutunya mendahului kedua tangannya”. HR. Hakim dan al-Daraqutni.
Hasil penelitian: Hadits di atas dikeluarkan oleh Hakim dalam al-Mustadrak: (1/226) dengan sanad (mata rantai perawi) sebagai berikut: Ismail bin al-Shifar, dari Abu al-Abbas bin Muhammad al-Dauri, dari Al- Ala’ bin Ismail al-Atthar, dari Hafsun bin Ghiyats, dari Ashim al-Ahwal, dari Anas bin Malik ra.
Pada sanad ini terdapat perawi al-Ala’ bin Ismail al-Atthar. bin Qayyim berkata: Ia majhul. bin Hajar mengatakan: Abu Hatim ditanya tentang hadits yang diriwayatkan olehnya, maka ia menjawab: Hadits munkar. [Periksa Lisan al-Mizan: 4/182; Nail al-Authar: 2/293.]
Mengacu kepada keterangan di atas nyatalah bahwa hadits yang dikeluarkan Hakim dan al-Daraqutni tersebut tergolong lemah dan tidak bisa dipakai sebagai hujah untuk menetapkan harus mendahulukan lutut dari pada tangan.
Ringkasnya, keempat hadits yang dipakai dalil oleh pendapat mendahulukan meletakkan lutut sebelum tangan tidak terlepas dari kelemahan sehingga tidak mungkin dipakai sebagai hujah.
Dengan penjelasan di atas dalil-dalil yang digunakan dalam Himpunan Putusan Tarjih dan jawaban Tanya Jawab Agama baik dalam menjawab “Jika Sujud, Tangan Atau Lutut Dulu” (jilid: I, halaman: 49), maupun “Gerakan Sujud” (Jilid V, halaman: 41), perlu ditinjau kembali. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni