Political Poressure
Ketiga, Muhammadiyah melakukan political poressure. Tekanan-tekanan politik itu juga memang kadang-kadang dilakukan oleh Muhammadiyah dengan cara Muhammadiyah sendiri.
“Sehingga kadang-kadang Pak Ketum Prof Haedar Nashir itu statemennya sangat keras, tetapi memang cara Ketum. Serius dan mendalam. Saya ini sebenarnya kadang-kadang keras, tetapi caranya yang lucu,” ungkapnya disambut gerrrr peserta.
Tetapi jangan lupa Muhammadiyah itu tidak bisa kemudian dinego sana dinego sini karena punya prinsip dan visi. Dan karena ini sebenarnya, prinsip yang membuat kita itu tidak mudah digoda dan tidak bisa digodain.
“Inilah saya kira yang perlu terus menerus kita lakukan. Kita punya resources yang cukup untuk itu. Nah itu peran politik kebangsaan yang sudah kita lakukan dan tanpa membawa Muhammadiyah kepada ranah politik kekuasaan,” paparnya.
“Insyaallah Muhammadiyah masih bisa punya peran, kalau kita melihat jujur bahwa persoalan kebangsaan itu tidak semata-mata persoalan who is doing what and gain what. Tidak semata-mata siapa melakukan apa dan mendapatkan apa,” tegasnya.
Karena nilai itu beyond the position, berada di atas posisi. Sehingga kita sering mengatakan begini, dalam tafsir ada dzulmulki dan ada dzulnilki. Ada orang yang menjadi penguasa dan berkuasa. Ada orang yang mempunyai jabatan dan berkuasa dengan jabatannya. Tetapi ada orang yang punya jabatan, tapi yang berkuasa bukan dia.
“Seperti Hayam Wuruk dengan Gajah Mada. Rajanya bernama Hayam Wuruk, tetapi yang mengatur sebenarnya adalah Gajah Mada. Tetapi mungkin ini berbeda dengan petugas partai ya,” seloroh Mu’ti bikin tawa peserta pecah lagi.
Menurutnya kondisi seperti itu banyak terjadi. Orang-orang yang banyak mempengaruhi itu sesungguhnya tidak selalu tampil. Mungkin dalam sejarah Amerika Serikat belum pernah ada presiden yang Yahudi. Tetapi tidak pernah ada presiden Amerika Serikat yang tidak terpengaruh oleh lobi-lobi Yahudi.
“Ini menurut saya penting untuk menjadi pemahaman kita. Muhammadiyah ini, dalam istilah Buya Syafii Maarif, menjadi gincu atau garam. Muhammadiyah dengan politik nilai itu kita menggarami. Dan ini yang akan terus kita lakukan sebagai bagian dari penguatan politik kebangsaan,” tuturnya. (*)
Penulis Sugiran Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post