Pilpres Langsung Rawan Manipulasi oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, Pendiri Rosyid College of Arts.
PWMU.CO – Berdasarkan UUD2002, paslon presiden dan wakilnya hanya bisa diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Berbeda dengan Pilgub atau Pilbup dan Pilwali, calonnya bisa dari kalangan independen non-parpol.
Ini berarti, tingkat monopoli politik oleh parpol di tingkat nasional lebih radikal daripada di tingkat daerah. Untuk jabatan publik sekuat presiden ini merupakan hal yang rawan dan berbahaya serta merusak.
Pertama, untuk negara kepulauan dengan bentang alam seluas Eropa, dan akses informasi serta literasi yang rendah, Pilpres secara langsung hampir pasti melibatkan penggalangan opini dan propaganda yang masif terutama melalui politik uang.
Pemilih langsung hampir pasti tidak terlalu mengenal njobon jerone para paslon presiden dan wakilnya. Para pemilih menetapkan pilihannya hanya dengan menduga atau berjudi atau hasil intimidasi dan propaganda partai politik pengusungnya.
Kedua, bagi paslon presiden dan wakil terpilih, kemenangan bisa membawa kejumawaan pada paslon tersebut.
Akuntabilitas presiden wapres terpilih pada pemilih sebagai kerumunan yang ill organized nyaris tidak ada, sementara pemakzulan hampir pasti melalui proses yang rumit dan bertele- tele apalagi jika kelembagaan Pemilu hingga Mahkamah Konstitusi sudah dirancang untuk kepentingan paslon inkumben.
Incumbancy dan dinasti politik selalu problematik karena godaan untuk mempertahankan kekuasaan atau memperpanjang masa atau periode jabatan sangat besar.
Ketiga, karena paslon hanya diajukan oleh parpol atau gabungan parpol, potensi manipulasi data paslon rawan manipulasi, termasuk asal usul mereka bahkan kepemilikan ijazahnya. Artinya, potensi memilih paslon palsu besar sekali.
Para paslon bisa merupakan hasil selundupan atau operasi intelijen asing, jika paslon bukan kader parpol yang aktif memberi kontribusi politik bagi parpol bersangkutan dalam waktu yang cukup panjang.
Paslon yang bukan kader parpol menunjukkan kegagalan parpol membesarkan kadernya sendiri, serta kecenderungan elite parpol untuk menjadi sekadar makelar politik bagi para bandar taipan yang membiayai logistik pilpres.
Pemilihan presiden dan wakilnya, sampai wali kota dan wakilnya oleh para wakil-wakil rakyat di MPR sesuai konstruksi UUD45, melalui proses musyawarah tidak hanya lebih efisien, tapi juga lebih efektif sekaligus edukatif dalam rekrutmen presiden dan wakilnya serta para kepala daerah.
Proses rekrutmen para pejabat eksekutif ini akan lebih robust, komprehensif, dan lebih legitimate karena melibatkan proses musyawarah yang elaboratif.
Akuntabilitasnya lebih jelas karena menghadapi institusi yang melembaga dan well organized, bukan kerumunan yang legalposition-nya mudah dipersoalkan.
Jika akhirnya harus ditentukan melalui voting, prosesnya lebih transparan dan akuntabel. Jika harus diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol, para paslon seharusnya kader partai politik.
Jika pengusulan boleh dilakukan secara independen, maka paslonnya pun boleh dari kalangan non parpol. Mengusung paslon bukan kader parpol oleh parpol dan gabungannya merupakan keganjilan.
Akhirnya, akibat elektabilitas lebih diutamakan daripada keterwakilan, harus dikatakan bahwa Pemilu seperti rancangannya saat ini berpotensi menjadi pemberi harapan palsu karena bisa-bisa terpilih presiden palsu yang sangat jumawa dan neroik, juga menjadi pemecah belah pemilih menjadi cebong dan kampret.
Akhirnya Pemilu benar-benar hanya menjadi instrumen mabuk democrazy, dan pemiluan publik dengan biaya yang makin mahal.
Editor Sugeng Purwanto