Memotret Indonesia
Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tersebut mengatakan, dalam perjalanannya kita menyadari bahwa ada banyak kemajuan yang diraih Indonesia, tetapi di sisi lain selalu ada problem. “Dalam pandangan Muhammadiyah, negara juga mengalami erosi, disrupsi, distorsi, bahkan deviasi dalam kehidupan kebangsaan diukur dari dasar cita-cita kebangsaan,” katanya.
Munculnya politik ekonomi bahkan budaya yang serbaliberal setelah reformasi, dia anggap itu tidak sejalan dengan dasar dan cita-cita Indonesia didirikan. Oligarki dalam berbagai bentuknya, ekonomi politik yang tidak sejalan, maka menurutnya kita memerlukan rekonstruksi ke depan.
“Bahkan dalam praktik kehidupan kebangsaan akhir-akhir ini, hukum mengalami proses politicking. Dalam konteks demokrasi, orang jadi tidak berani berkata dan berbuat yang berbeda karena ada politisasi hukum dan berbagai persoalan-persoalan kehidupan,” katanya.
Oleh sebab itu, dalam konteks ini Muhammadiyah ingin para calon presiden dan wakil presiden memotret Indonesia secara fundamental dan bagaimana para tokoh bangsa ini ke depan membawa Indonesia sesuai dengan fondasi dan cita-cita, visi misi bangsa di tengah konstelasi kehidupan nasional dan global yang begitu kompleks.
“Sehingga Indonesia betul-betul ada bingkai fondasi yang jelas dan utuh, tidak sekadar pada visi misi presiden semata-mata. Lebih dari itu tentu kami percaya, kedua tokoh ini ketika rakyat nanti memberi amanat dan mandat tentu akan berdiri tegak di atas konstitusi dan tidak menyalahgunakannya,” ucap Haedar disambut tepuk tangan hadirin.
Dia juga mengingatkan agar para capres dan cawapres ini kalau toh berjanji, maka berjanjilah yang objektif untuk dan atas nama bangsa. “Jangan bikin janji-janji yang nanti laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha, yakni di luar kemampuan,” ucapnya sambil tersenyum.
Dia juga menegaskan, ketika capres dan cawapres terpilih agar rakyat dan kekuatan masyarakat seperti Muhammadiyah itu tidak dibikin terlalu susah. “Ya susah boleh, namanya berbangsa dan bernegara. Kalau tidak susah itu namanya hidup di surga. Tapi janganlah dibikin terlalu susah,” ucapnya.
Karena menurutnya, berkaca pada pengalaman, ada sejumlah undang-undang yang Muhammadiyah sampai harus tarik ulur luar biasa lalu berakhir dengan tidak ada aspirasi yang ditampung. Akhirnya apa yang bisa diputuskan di DPR itu hasil dari oligarki koalisi yang kun fayakun.
“Setiap undang-undang yang dikehendaki apapun jadi. Tidak peduli suara Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan semua kekuatan Masyarakat. Padahal, ketika kita bersuara, dengarlah kami. Karena yang kami suarakan betul-betul demi kepentingan bangsa dan negara. Apalagi jangan sampai ke depan ada undang-undang yang kemudian diputuskan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya,” tandas Haedar.
Dia menegaskan, ruang dialog publik ini sekali lagi sebagai cara Muhammadiyah ingin mencerdaskan kehidupan bangsa. “Karena ciri orang cerdas adalah mengambil sekian banyak pandangan, referensi, opini, paradigma, kondisi, lalu ambil yang terbaik,” ujarnya. (*)
Penulis Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni