Gemoy, Ganjaris, dan Ter-Anies-Anies oleh Abu Nasir, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Pasuruan.
PWMU.CO – Kampanye Capres-Cawapres sudah dimulai sejak 28 November 2023 dan berakhir tanggal 10 Februari 2024.
Genderang ”perang” antar pendukung mulai ditabuh. Adu gagasan dan strategi dipastikan ramai. Gempita dan sorak sorai mewarnai ungkapan cinta kepada idola yang digadang-gadang memenangkan kontestasi.
Mengungkapkan cinta bisa bermacam macam. Objek kecintaan pun beragam. Paling banyak tentu cinta kepada sesama. Semacam cinta seseorang kepada kekasihnya. Selain itu kita juga sering mendengar ungkapan cinta kepada negara, bangsa dan tanah air, cinta kepada harta benda, anak-anak dan keturunan.
Dukungan kepada Capres-Cawapres pun tidak lepas dari rasa cinta. Kecintaan kepada pasangan calon nomor 1 membuat seseorang menjadi ter-Anies-Anies.
Bagi pencinta paslon nomor 2 rasa cinta diungkapkan melalui tarian Gemoy ala Prabowo Subianto. Begitu pula kepada paslon nomor 3 mengungkapkan cinta matinya menjadi Ganjaris.
Kadang di antara para pendukung Capres-Cawapres saling mengolok dan menghujat demi meraih simpati dan dukungan kepada idolanya. Pada titik ekstrem Pemilu bisa memecah belah bangsa. Seperti Pemilu 2014 dan 2019.
Saat kampanye mereka rela berhujan-hujan dan berpanas-panas untuk menunjukkan loyalitasnya kepada kecintaannya itu. Jika sudah begitu, ibarat pepatah: Kalau cinta melekat, tai kucing terasa coklat.
Para pecinta tidak peduli substansi dan tujuan untuk apa dan mau ke mana Capres-Cawapres itu hendak membawa bangsa dan negara ini. Visi misi menjadi terlupakan dan program dikesampingkan. Yang penting idolanya menang. Cinta sensualitas melupakan ide dan gagasan.
Kebodohan Cinta
Secara normatif semua merupakan ungkapan cinta dunia. Cinta yang bisa melupakan kewajiban dan tugas-tugas utama. Seorang pelajar demi cintanya kepada sang kekasih, bisa lupa tugas belajarnya.
Begitu juga orang-orang yang cinta kepada usaha, pekerjaan, anak-anak keturunan, harta benda dan semua hal yang sifatnya keduniawiyahan, bisa lupa kewajiban dan perannya sebagai hamba Allah yang mengemban khalifah di muka bumi.
Al-Quran tidak memungkiri adanya cinta semacam itu. Namun al-Quran juga mengingatkan bahwa kecintaan terhadap hal-hal yang berbau duniawiyah adalah kecintaan lahiriyah yang tidak boleh melupakan kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah.
Kalau itu terjadi maka kita terjebak pada cinta sesaat yang tidak bisa mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih abadi.
Kehidupan abadi harus diperjuangkan melalui kecintaan manusia kepada Sang Khaliq. Mereka mengenal secara lahir tentang kehidupan dunianya, tetapi melupakan kehidupan abadi sebagai tujuan utamanya, yaitu akhiratnya.
يَعْلَمُوْنَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۖ وَهُمْ عَنِ الْاٰخِرَةِ هُمْ غٰفِلُوْنَ
Mereka mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai. (Ar-Ruum:7)
Imam Al-Qurthubi mengatakan kecintaan kepada dunia sama dengan pengetahuan terbatas (kebodohan) yang hanya berorientasi kepada kesenangan.
Hal yang sama disampaikan oleh mufassir Zamakhsyaryi bahwa kebodohan akan membawa kepada pemahaman parsial, tidak menyeluruh. Apalagi sampai kepada pemahaman akhirat.
Nalar Kritis
Saat Pilpres, para pencinta bisa terjebak pada pemahaman terbatas terhadap Capres-Cawapres idolanya untuk apa mereka memilihnya.
Mereka lupa bahwa nasib selama lima tahun dipertaruhkan atas pilihannya itu. Karena itu Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengingatkan agar warga Muhammadiyah memilih Capres-Cawapresnya berdasarkan hati nuraninya dan menggunakan daya nalar kritis.
Rasulullah menganjurkan umatnya untuk tidak menjadikan cinta dunia sebagai tujuan hidupnya. Nabi yang mulia ini berharap agar orang-orang beriman menempatkan cinta kepada kehidupan bahagia di akhirat kelak sebagai tujuan utamanya,
Kehidupan akhirat merupakan kehidupan abadi umatnya kelak. Orang yang menjadikan dunia sebagai tujuannya dan mencintainya mati-matian sehingga hari-harinya dipenuhi dengan pergulatan mencari dunia tanpa ingat sama sekali kehidupan akhiratnya, akan terpuruk dalam penyesalan dan kehinaan.
Urusannya berantakan, selalu dilanda kemiskinan karena tidak pernah merasa cukup meskipun ia memiliki kekayaan tujuh turunan.
Sebaliknya orang-orang yang menjadikan akhirat (kehidupan abadi) sebagai tujuan utama dan kecintaannya maka segala urusannya akan terhimpun, segala kekurangannya dicukupi sebab ia telah menjadi orang yang kaya sekali meskipun hidupnya sangat sederhana.
Zaid bin Tsabit menceritakan apa yang disabdakan Rasulullah mengenai hal itu.
مَنْ كانت الدنيا هَمَّهُ فَرَّق الله عليه أمرَهُ وجَعَلَ فَقْرَهُ بين عينيه ولم يَأْتِه من الدنيا إلا ما كُتِبَ له، ومن كانت
جَمَعَ اللهُ له أَمْرَهُ وجَعَلَ غِناه في قَلْبِه وأَتَتْهُ الدنيا وهِيَ راغِمَةٌ الآخرةُ نِيَّتَهُ
Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya). (Ibnu Majah, hadis No. 4105).
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengomentari hadits itu dengan berkata bahwa,”Orang yang mencintai dunia (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (macam penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang selalu menyertainya, kepayahan yang tiada henti, dan penyesalan yang tiada berakhir. (Iqaatsatul-lahfaan, I/37)
Hal ini dikarenakan orang yang mencintai dunia (secara berlebihan) jika telah mendapatkan sebagian dari (harta benda) duniawi maka nafsunya (tidak pernah puas dan) terus berambisi mengejar yang lebih daripada itu.
Sebagaimana dalam hadits yang sahih Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang berisi) harta (emas) maka dia pasti (berambisi) mencari lembah harta yang ketiga. (Bukhari-Muslim)
Dalam bahasa yang lebih metaforis, Rasulullah saw mengumpamakan kekayaan hakiki adalah kekayaan dalam hati/jiwa.sebagaimana sabdanya: Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (dalam) jiwa. (Bukhari-Muslim).
Move On
Kebahagiaan hidup dan keberuntungan di dunia dan akhirat hanyalah bagi orang yang cinta kepada Allah dan hari akhirat. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Ta’ala berikan kepadanya. (HR Muslim)
Sifat yang mulia ini dimiliki dengan sempurna oleh para sahabat Rasulullah shallallhu alaihi wa sallam dan inilah yang menjadikan mereka lebih utama dan mulia di sisi Allah taala dibandingkan generasi yang datang setelah mereka.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu berkata: Kalian lebih banyak berpuasa, (mengerjakan) shalat, dan lebih bersungguh-sungguh (dalam beribadah) dibandingkan para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tapi mereka lebih baik (lebih utama di sisi Allah taala) daripada kalian.
Ada yang bertanya: Kenapa (bisa demikian), wahai Abu Abdurrahman? Ibnu Mas’ud ra berkata: ”Karena mereka lebih zuhud dalam (kehidupan) dunia dan lebih cinta kepada akhirat.”
Para pecinta Capres-Cawapres janganlah cinta mati. Pemilu hari ini menentukan nasib rakyat lima tahun lagi. Sengsara atau sejahtera. Kalah menang Pemilu tak usah terpecah belah. Kembali move on. Ingat Pilpres 2019. Kandidat yang bertarung sudah berdamai, tapi pendukungnya masih saling mencaki maki. Cinta mati hanyalah untuk Allah.
Editor Sugeng Purwanto