Dua Jalan Politik, Muhammadiyah Pilih yang Ini, Review majalah Matan oleh Miftahul Ilmi
PWMU.CO – Muhammadiyah memandang jalan politik ada dua. Pertama, jalan politik kenegaraan kebangsaan. Yakni membangun bangsa dan negara lewat reformasi kehidupan masyarakat dan pembangunan secara keseluruhan.
Kedua, jalan politik kekuasaan. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengungkapkan, dorongan agar Muhammadiyah menjalankan politik kekuasaan itu sudah muncul sejak tahun 1918. Saat itu, Agus Salim pada sidang tahunan berorasi meminta pada majelis agar Muhammadiyah bergerak dalam politik seperti Serikat Islam. Orasinya yang luar biasa itu nyaris membuat peserta terpengaruh. Tapi Kiai Ahmad Dahlan memerah wajahnya.
“Dan kemudian dia (Ahmad Dahlan) berkata begini, ‘Apakah kalian tahu Islam? Apakah kalian tahu gerakan Muhammadiyah yang baru didirikan ini untuk pergerakan Islam yang seperti apa? Apakah kalian tahu bagaimana perjuangan Islam ke depan? Tanpa memberi ruang untuk menjawab, Kiai Dahlan langsung mengetok palu sidang. Tangan kiai gemetar ketika mengetuk palu itu. Jadi kesimpulannya bahwa Dahlan memang ingin Muhammadiyah fokus bergerak di bidang dakwah, kesehatan, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan,” terang Haedar Nashir.
Selanjutnya, pada Tahun 1938 Muhammadiyah mencoba mendirikan parpol, meski tak secara langsung, lewat Mas Mansyur dan beberapa aktivis Islam lain, yakni Partai Islam Indonesia (PII). Sayangnya tidak begitu berkembang dan kemudian dihentikan. Setelah itu lahirlah Masyumi. Muhammadiyah pun masuk menjadi anggota istimewa. Tapi, pada tahun 1962, Muhammadiyah ingin mundur dari Masyumi. Karena situasi politik saat itu penuh dengan pertaruhan, keras, bahkan sudah ada benih-benih akan terjadi krisis.
“Dua hal hilang atau melemah dari Muhammadiyah ketika berafiliasi dengan parpol. Pertama, amal usah tak terurus. Kedua, Muhammadiyah diurus dengan cara-cara politik. Anggota Muhammadiyah yang dipikirkan politik terus. Maka, saat itu Muhammadiyah pamit. Tapi tidak boleh. Karena situasi politik tahun 60-an saat itu genting, Muhammadiyah diposisikan lebih berjarak. Jadi semacam perpisahan secara damai dan berproses. Di situlah keluar istilah politik praktis yang dikodifikasi dalam Tanwir 1962, yakni politik kekuasaan yang dijalankan oleh partai politik,” tuturnya.
“Tahun 1968 Muhammadiyah kembali mendirikan parpol yang berada di samping Persyarikatan, yaitu Parmusi. Tapi layu sebelum berkembang. Bahkan ketua umum dan sekretarisnya dikudeta. Itu juga tokoh Muhammadiyah sendiri yang kudeta karena perbedaan cara berpolitik. Sejak itu Muhammadiyah akhirnya memutuskan bahwa jalan Muhammadiyah bukan di politik praktis. Tapi untuk kemasyarakatan dan kebangsaan,” sambungnya.
Meski tak akan lagi masuk dalam politik praktis, bukan berarti Muhammadiyah antipati. Di Khittah Denpasar disebutkan, Muhammadiyah mendorong kader-kadernya untuk aktif di politik, namun dengan tetap menjalankan politik nilai. Muhammadiyah membolehkan kadernya mencari kekuasaan dan berpolitik praktis, asal jangan lewat organisasi Muhammadiyah. Tapi lewat parpol. Muhammadiyah juga meminta warganya harus menggunakan hak suaranya. Tidak boleh golput.
“Kalau kader Muhammadiyah sudah masuk politik praktis, maka harus sungguh-sungguh, tahan banting, luwes, dan pandai berinteraksi. Kalau politiknya kaku ya siapa yang mau bergabung? Tapi intinya adalah perjuangan politik kebangsaan yang dilakukan Muhammadiyah sama penting dan strategisnya dengan perjuangan politik kekuasaan. Jadi jangan merasa kita tidak eksis dan tidak signifikan dalam gerakan kita,” ujarnya.
Baca sambungan di halaman 2: Manfaatkan Politik Lobi dan Opini