Cinta Khadijah pada Rasulullah
Khadijah sudah lama tahu nama Muhammad, seorang pemuda yang terkenal dengan akhlak mulia. Tetapi bertatap muka langsung belum pernah. Khadijah baru bertemu Muhammad ketika Muhammad dipanggilnya untuk diberi kepercayaan membawa bisnisnya.
Muhammd datang menemui Khadijah. Selama pertemuan itu Muhammad selalu menundukkan wajahnya, menundukkan matanya. Khadijah kagum dengan kesopanan Muhammad. Mungkin orang lain akan memanfaatkan kesempatan itu menatap wajah Khadijah yang cantik. Khadijah menjadi idola banyak pria dan mereka ingin mengawininya. Tetapi dengan berbagai cara Khadijah menolak mereka.
Muhammad menundukkan wajah dan matanya. Maka Khadijah punya kesempatan memandang wajah itu leluasa. Maka dia melihat kening Muhammad yang lebar. Dagu yang lepas. Leher yang jenjang, mata indah dan lebar dengan bola mata hitam, dan gigi yang putih cemerlang. Agak aneh. Khadijah memanggil Muhammad untuk bisnis tetapi dia juga terpukau dengan ketampanannya. Seingat Khadijah Muhammad hanya sekali mengangkat wajahnya dan memandangnya yaitu ketika Khadijah menawarkan tugas membawa bisnisnya ke Syam.
“Untuk engkau aku akan membayarmu dua kali lipat daripada kepada orang lain.” Muhammad mengangkat wajahnya, menyatakan bersedia lalu mengucapkan terima kasih. Hari keberangkatan pun tiba. Penduduk Mekah, termasuk paman-paman Muhammad mengantar kafilah ke Syam sampai batas kota. Dalam bisnis ini Muhammad ditemani seorang laki-laki, Maisyarah, pembantu Khadijah. Kepada Maisyarah, Khadijah berpesan agar tidak menentang Muhammad dan tidak membantahnya.
Sejak kepulangan Muhammad itu, hati Khadijah gelisah. Selalu ingat Muhammad. Apakah saya sedang jatuh hati?
Bisnis yang dibawa Muhammad sukses besar. Barang-barang dari Makkah laku dengan baik. Muhammad kembali ke Makkah juga dengan membawa barang dari Syam. Diperkirakan juga akan laris. Rombongan datang disambut masyarakat. Laki-laki di jalan dan perempuan di balkon rumah. Khadijah mengamati Muhammad yang melangkah dengan gagah. Muhammad lalu melaporkan hasil bisnisnya kepadanya. Khadijah kagum dengan kecerdikan Muhammad. Maisyarah juga menambahkan kelebihan Muhammad dalam berdagang.
Sejak kepulangan Muhammad itu, hati Khadijah gelisah. Selalu ingat Muhammad. Apakah saya sedang jatuh hati? Khadijah menyadari usianya lebih tua. Sudah janda. Dia tahu diri. Bagaimana cara menyatakan cinta kepadanya? Apakah dia bersedia? Apa kata orang-orang yang dia tolak waktu ingin melamarnya? Gelora cinta ternyata tidak mudah dipadamkan. Makin hari makin membara. Akhirnya ia curahkan kepadasahabat dekatnya yang terpercaya: Nafisah. Tugas Nafisah adalah menjajaki kemungkinan Muhammad bersedia menjadi suaminya.
Nafisah mendekati Muhammad yang masih ada hubungan famili. Dengan lembut dia berkata: “Muhammad, banyak anak muda sebayamu sudah menikah. Tidakkah engkau berencana untuk menikah?” kata Nafisah seperti seorang ibu kepada anaknya.
“Aku orang miskin. Belum siap membiayai pernikahan dan berkeluarga.”
“Kemiskinan bukan alasan untuk tidak menikah. Banyak orang tua di sini berharap kamu melamar anak mereka karena kamu laki-laki berakhlak mulia dan terhormat. Ada wanita yang cocok untukmu. Dia terhormat, cantik, berakhlak mulia, selalu menjaga kehormatan, disegani masyarakat dan sangat kaya. Dia juga berharap kamu menjadi suaminya.”
“Siapa dia?”
“Khadijah!” Kata Nafisah.
Muhammad terkejut. “Bagaimana mungkin?”
“Serahkan semuanya kepadaku. Segalanya akan berjalan baik,” Nafisah meyakinkan.
Baca sambungan di halaman 3: Istri Teladan