Kisah Cinta Khadijah dan Muhammad

Idul Fitri tanpa Hari Raya dan Sejatining Nur, kolom ditulis oleh Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
Ustadz Nur Cholis Huda penulis Idul Fitri tanpa Hari Raya. (Dokumentasi PWMU.CO)

Kisah Cinta Khadijah dan Muhammad, Oleh Nur Cholis Huda, Penasihat Pimpinan Wilayah Muhamamdiyah Jawa Timur, penulis buku-buku inspiratif.

PWMU.CO – “Aku tidak pernah punya rasa cemburu kepada seorang wanita melebihi cemburuku  kepada Khadijah. Padahal aku tidak pernah berjumpa dengannya bahkan tidak pernah melihat wajahnya,” kata Ummul Mukminin Aisyah.  

Kita mungkin akan mengatakan: ini cemburu yang aneh. Tidak pernah bertemu dan tidak pernah melihat orangnya tetapi justru kepada orang ini Aisyah cemburu berat. Ketika Aisyah mengatakan ini, Khadijah sudah lama meninggal. Mengapa Aisyah cemburu berat?”

“Karena Rasulullah selalu menyebut namanya. Jika beliau menyembelih kambing, maka selalu diambil sebagian untuk diberikan kepada sahabat-sahabat Khadijah.” Itulah yang menyebabkan Aisyah cemburu. Khadijah seperti masih hidup. Bahkan diberi jatah daging kambing walaupun itu bukan untuk Khadijah tetapi untuk sahabat-sahabatnya.  

Pernah suatu hari Rasulullah duduk sendiri. Lalu dari lisannya keluar kata: “Khadijah, Khadijah, Khadijah.” Melihat hal itu Aisyah sangat marah. 

“Mengapa baginda masih menyebut-nyebut nama orang itu? Bukankah Allah telah memberi ganti dengan wanita yang lebih muda dan lebih cantik?” Maksudnya  Allah telah mengganti Khadijah dengan dirinya.

Akhirnya Aisyah tahu, meremehkan Khadijah itu melukai hati Rasulullah.

Rasulullah tidak suka mendengar Aisyah meremehkan Khadijah. Maka dengan kalimat indah tetapi mematikan Rasulullah mengatakan: “Tidak seorang pun bisa menggantikan Khadijah di hatiku.” 

Ada tiga kelebihan Khadijah yang tidak ada pada istri-istri Rasulullah yang lain. 

“Dia orang pertama yang beriman kepadaku ketika belum seorang pun yang percaya pada kerasulanku”. 

“Dia telah menyerahkan segala miliknya untuk perjuanganku sebelum orang lain memberikan sesuatu kepadaku.”

“Lewat dia Allah memberi keturunan kepadaku dan tidak lewat istri-istriku yang lain.” 

Akhirnya Aisyah tahu, meremehkan Khadijah itu melukai hati Rasulullah. 

Baca sambungan di halaman 2: Cinta Khadijah pada Rasulullah

Ustadz Nur Cholis Huda, penulis Jomblo, sampai kapan? (Istimewa/PWMU.CO)

Cinta Khadijah pada Rasulullah

Khadijah sudah lama tahu nama Muhammad, seorang pemuda yang terkenal dengan akhlak mulia. Tetapi bertatap muka langsung belum pernah. Khadijah baru bertemu Muhammad ketika Muhammad dipanggilnya untuk diberi kepercayaan membawa bisnisnya. 

Muhammd datang menemui Khadijah. Selama pertemuan itu Muhammad selalu menundukkan wajahnya, menundukkan matanya. Khadijah kagum dengan kesopanan Muhammad. Mungkin orang lain akan memanfaatkan kesempatan itu menatap wajah Khadijah yang cantik. Khadijah menjadi idola banyak pria dan mereka ingin mengawininya. Tetapi dengan berbagai cara Khadijah menolak mereka.

Muhammad menundukkan wajah dan matanya. Maka Khadijah punya kesempatan memandang wajah itu leluasa. Maka dia melihat kening Muhammad yang lebar. Dagu yang lepas. Leher yang jenjang, mata indah dan lebar dengan bola mata hitam, dan gigi yang putih cemerlang. Agak aneh. Khadijah memanggil Muhammad untuk bisnis tetapi dia juga terpukau dengan ketampanannya. Seingat Khadijah Muhammad hanya sekali mengangkat wajahnya dan memandangnya yaitu ketika Khadijah menawarkan tugas membawa bisnisnya ke Syam. 

“Untuk engkau aku akan membayarmu dua kali lipat daripada kepada orang lain.” Muhammad mengangkat wajahnya, menyatakan bersedia lalu mengucapkan terima kasih. Hari keberangkatan pun tiba. Penduduk  Mekah, termasuk paman-paman Muhammad mengantar kafilah ke Syam sampai batas kota. Dalam bisnis ini Muhammad ditemani seorang laki-laki, Maisyarah, pembantu Khadijah. Kepada Maisyarah, Khadijah berpesan agar tidak menentang Muhammad dan tidak membantahnya.

Sejak kepulangan Muhammad itu, hati Khadijah gelisah. Selalu ingat Muhammad. Apakah saya sedang jatuh hati?

Bisnis yang dibawa Muhammad sukses besar. Barang-barang dari Makkah laku dengan baik. Muhammad kembali ke Makkah juga dengan membawa barang dari Syam. Diperkirakan juga akan laris. Rombongan datang disambut masyarakat. Laki-laki di jalan dan perempuan di balkon rumah. Khadijah mengamati Muhammad yang melangkah dengan gagah. Muhammad lalu melaporkan hasil bisnisnya kepadanya. Khadijah kagum dengan kecerdikan Muhammad. Maisyarah juga menambahkan kelebihan Muhammad dalam berdagang. 

Sejak kepulangan Muhammad itu, hati Khadijah gelisah. Selalu ingat Muhammad. Apakah saya sedang jatuh hati? Khadijah menyadari usianya lebih tua. Sudah janda. Dia tahu diri. Bagaimana cara menyatakan cinta kepadanya? Apakah dia bersedia? Apa kata orang-orang yang dia tolak waktu ingin melamarnya? Gelora cinta ternyata tidak mudah dipadamkan. Makin hari makin membara. Akhirnya ia curahkan kepadasahabat dekatnya yang terpercaya: Nafisah. Tugas Nafisah adalah menjajaki kemungkinan Muhammad bersedia menjadi suaminya.

Nafisah mendekati Muhammad yang masih ada hubungan famili. Dengan lembut dia berkata: “Muhammad, banyak anak muda sebayamu sudah menikah. Tidakkah engkau berencana untuk menikah?” kata Nafisah seperti seorang ibu kepada anaknya.

“Aku orang miskin. Belum siap membiayai pernikahan dan berkeluarga.”

“Kemiskinan bukan alasan untuk tidak menikah. Banyak orang tua di sini berharap kamu melamar anak mereka karena kamu laki-laki berakhlak mulia dan terhormat. Ada wanita yang cocok untukmu. Dia terhormat, cantik, berakhlak mulia, selalu menjaga kehormatan, disegani masyarakat dan sangat kaya. Dia juga berharap kamu menjadi suaminya.”

“Siapa dia?”

“Khadijah!” Kata Nafisah. 

Muhammad terkejut. “Bagaimana mungkin?”

“Serahkan semuanya kepadaku. Segalanya akan berjalan baik,” Nafisah meyakinkan.

Baca sambungan di halaman 3: Istri Teladan

Idul Fitri tanpa Hari Raya dan Sejatining Nur, kolom ditulis oleh Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
Ustadz Nur Cholis Huda penulis Idul Fitri tanpa Hari Raya. (Dokumentasi PWMU.CO)

Istri Teladan

Singkat cerita terjadi pernikahan. Kerabat dari kedua pihak hadir. Abu Thalib berpidato. “Muhammad memang tidak kaya harta tetapi dia kaya jiwa tidak ada bandingannya. Harta bisa segera punah. Lima belas unta sebagai maskawin adalah tanggunganku,” tegas Abu Thalib. Pernikahan berlangsung setelah dua bulan15 hari dari kepulangan Muhammad dari Syam. Waktu yang pendek.

Setelah menikah Khadijah berubah drastis. Dari wanita karier yang sangat menonjol berubah menjadi istri yang melayani suami dan keluarga. Apalagi dia wanita subur. Dalam 10 tahun menikah dengan Muhammad dikaruniai enam anak. Kepada mereka fokus perhatiannya. Khadijah tidak pernah setengah-setengah. Muhammad kini yang bekerja mencari nafkah.

Warakah, pamannya, adalah seorang rahib mengatakan, pada diri Muhammad ada tanda-tanda kenabian. Khadijah percaya itu. Maka dia selalu mendukung ketika suaminya ingin melakukan renungan. Biasanya di Gua Hira’ beberapa hari. Khadijah menyiapkan bekal cukup.

Suatu hari Muhammad pulang dari Gua Hira dengan tubuh gemetar. Dia menceritakan peristiwa pertemuan dengan Jibril yang baru dialami. “Selimuti saya! Selimuti saya!” katanya dengan menggigil. 

Khadijah segera menyelimuti dengan kain sekaligus menyelimuti dengan hatinya. “Tuhan tidak akan menyusahkan hatimu, suamiku, karena engkau dikenal laki-laki yang suka menyambung silaturahmi dan suka bersedekah,” kata Khadijah.

Tak terhitung berapa banyak uang Khadijah dihabiskan. Ini beda dengan naluri umum wanita yang enggan mengorbankan uang hasil cucuran keringatnya.

Muhammad segera tidur dengan hati tenang. Lalu Khadijah pergi ke pamannya Warakah. Menceritakan semuanya. Warakah lalu berkata: “Suamimu telah menjadi nabi. Kalau saja usiaku panjang aku akan membantu sepenuhnya. Dia akan banyak tantangan dan gangguan. Bantulah dia sepenuh hati.”

Periode Makkah periode sangat berat. Tantangan utama dari paman Nabi  sendiri, Abu Lahab dibantu Abu Jahal. Khadijah bertekad ikut memikul beban Muhammad sepenuhnya. Ada dua orang menjadi penghalang kafir Qurais tak bebas menyerang Nabi. Yaitu Abu Thalib dan Khadijah. Keduanya orang yang disegani masyarakat Makkah

Untuk memberi sanksi lebih berat kepada pengikut Nabi, maka dilakukan pemboikotan. Dibuat ketentuan yang digantung di ka’bah, semua orang dilarang menjual atau membeli barang apapun kepada pengikut Muhammad. 

Maka pengikut Nabi berkumpul di Syiib Abu Thalib, tempat terpencil di Makkah sebelah timur. Tahun pertama sudah mulai terasa. Tahun kedua bahan pangan sudah menipis. Mereka tidak bisa membeli kepada siapa pun. Kafir Qurais berharap mereka menyerah.

Di sini peran Khadijah sangat besar. Dengan kekayaan dan jaringan bisnis yang dimiliki, Khadijah diam-diam kontak kawan bisnisnya. Banyak yang bersedia dengan sembunyi-sembunyi melayani pembelian itu karena merasa waktu sulit dulu sering ditolong Khadijah. Tak terhitung berapa banyak uang Khadijah dihabiskan. Ini beda dengan naluri umum wanita yang enggan mengorbankan uang hasil cucuran keringatnya. Pemboikotan berakhir ketika maklumat yang digantung di Ka’bah habis dimakan rayap.

Baca sambungan di halaman 4: Hari-Hari Akhir

Idul Fitri tanpa Hari Raya dan Sejatining Nur, kolom ditulis oleh Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
Ustadz Nur Cholis Huda penulis Idul Fitri tanpa Hari Raya. (Dokumentasi PWMU.CO)

Hari-Hari Akhir

Banyak kejadian mengharukan pada hari-hari akhir kehidupan Khadijah. Misalnya ketika Khadijah sakit dia berkata kepada Rasulullah: “Maafkan aku ya Rasulullah. Sebagai seorang istri aku belum bisa berbakti kepadamu dengan baik. Maafkan kalau aku sering mengecewakanmu.” Katanya sambil menangis.

Rasulullah menjawab: “Jauh dari itu ya Khadijah. Engkau telah mendukung dakwah Islam sepenuhnya. Bukan hanya aku yang merasakan tapi seluruh orang Mukmin merasakan pengorbananmu.”

Khadijah, seorang istri yang telah mengorbankan segala miliknya untuk membantu perjuangan suami, masih dengan rendah hati dengan menangis minta maaf, jangan-jangan masih sering mengecewakan  hati suami. Alangkah mulia akhlaknya. Alangkah Ikhlas hatinya. Adakah istri yang lebih mulia daripada Khadijah?

Ketika dalam keadaan sakit dia panggil anaknya Fatimah az-Zahrah. Lalu berbisik ditelinganya. “Fatimah, aku merasa hidupku tidak lama lagi. Aku takut dengan siksa kubur anakku. Karena itu tolong mintakan kepada ayahmu agar bersedia memberikan sorbannya yang dia pakai ketika menerima wahyu dulu. Aku ingin menjadikan bagian dari kain kafanku.” 

“Mengapa aku yang minta Bu?” kata Fatimah. “Mengapa bukan ibu sendiri langsung yang meminta kepada ayah?” 

“Aku malu Fatimah, juga takut.”

Khadijah akhirnya menghembuskan nafas terakhir dengan tenang dalam keadaan tersenyum. Dia meninggal di pangkuan Rasulullah dalam usia 65 tahun.

Dia malu meminta sorban Rasulullah. Itu bukan sorban baru. Sorban lama lebih sepuluh tahun lalu. Khadijah yang menyimpannya. Tapi dia malu memintanya. Padahal dia telah memberikan segala miliknya. Dia seperti telah melupakan semua pengorbanannya seakan tidak pernah berbuat apa-apa. Maka dia malu meminta sesuatu dari Rasulullah. Bahkan takut jangan-jangan itu merepotkan suaminya.

Rasulullah akhirnya mendengar kecemasan Khadijah. Rasulullah lalu mengatakan bahwa Khadijah tak perlu mencemaskan semua itu. “Khadijah, Allah SWT telah menitipkan salam kepadamu. Dia telah mempersiapkan tempatmu di surga, tempat tinggal yang penuh permata. Tenteram dari segala gangguan.” 

Khadijah akhirnya menghembuskan nafas terakhir dengan tenang dalam keadaan tersenyum. Dia meninggal di pangkuan Rasulullah dalam usia 65 tahun. Dia wafat setelah beberapa bulan kematian Abu Thalib.

Rasulullah mengalami duka cita yang mendalam. Dua orang pembela Rasulullah yang disegani kafir Quraisy telah tiada. Abu Thalib dan Khadijah. Tahun itu dikenal dengan Amul Huzni artinya tahun duka cita. Kafir Quraisy mulai semakin bebas mengganggu Rasulullah. Sampai akhirnya Rasullah dan kaum Muslimin hijrah ke Madinah. (*)

Sebagian sudah dimuat majalah Matan Edisi 209 Desember 2023. Sumber tulisan: Khadijah, The True Love Story of Muhammad.

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version