Lomba Ajal di Gerbang Perubahan
Oleh Emha Ainun Nadjib *)
PWMU.CO – Tulisan ini saya ambil dari antah-berantah, sehingga sama sekali tidak menarik untuk dipahami. Juga sukar dipercaya: keilmuannya, pemetaan nilai maupun fakta-faktanya. Oleh sebab itu lebih aman dan ringan untuk tidak usah membacanya.
Agustus depan tanggal 26 akan berlangsung suatu peristiwa besar. Yang mungkin merupakan salah satu indikator yang menyiratkan sifat atau karakter zaman macam apa yang sedang kita jalani saat-saat ini. Dengan eskalasi dan pembengkakan gejala yang terus meningkat hingga sekitar tujuh tahun ke depan.
(Baca: Blak-blakan Cak Nun soal Kondisi Indonesia: Tinggal Ditolong Tuhan apa Tidak…)
Akan semakin berlangsung semacam ketidaklaziman-ketidaklaziman besar di muka bumi. Terutama di bidang politik dan kepemimpinan, kesenjangan yang ekstrem antara nilai Agama dengan aplikasi pemeluknya, irasionalitas keputusan dan peristiwa perekonomian, juga anomali-anomali misalnya di bidang olahraga. Semua itu seharusnya mustahil, tetapi tidak lagi mustahil.
Pada saat yang bersamaan potret-potret geniusitas dan manusia-manusia genius akan semakin mengejutkan dunia, terutama di bidang teknologi tinggi, yang membuat manusia dan kemanusiaan semakin tersandera, terkooptasi dan menjadi narapidana dari kecerdasannya sendiri.
Ummat manusia di dunia sedang menapakkan kaki di depan gerbang perubahan yang sangat mendasar. Yang jangkauannya sampai ke pusat struktur saraf pengatur akal, serta tulang sungsum, di mana rahasia roh-roh bersembunyi namun mulai menggeliat, dan memproduksi misteri-misteri yang belum pernah terjadi di zaman apapun sebelumnya. Di tanah tandus zaman ini (hanya bisa) tumbuh pohon-pohon sakti.
Gerbang perubahan itu tidak sekedar berlangsung pada memuncaknya kegalauan kehidupan perekonomian, yang toh sudah selalu diketahui potensialitas recovery-nya. Juga tidak sekadar kebusukan moral dan politik yang pasti akan mendaur ulang siklusnya. Ini perubahan pada level Peradaban. Ummat manusia sedang menuju senjahari, sekaligus menyongsong fajar pagi. Kehidupan di bumi sedang memproses kematiannya sekaligus mempersiapkan kelahirannya.
Penduduk bumi akan mengalami perubahan besar-besaran dalam cara pandang mereka terhadap kehidupan, manusia, alam dan Tuhan. Saat ini mereka sebenarnya sudah dipaksa untuk belajar tidak hanya cara pandang, tidak terbatas sudut dan sisi pandang. Tapi juga terjerembab untuk mulai menggunakan proporsi pandang, dosis pandang, jarak pandang, lingkar pandang, bahkan bulatan pandang. Manusia tidak bisa bertempat tinggal di barat saja, atau berdomisili di timur, utara dan selatan saja. Bahkan tidak lagi statis di dalam atau mandeg di luar.
Berlangsung suatu organisme sosial baru di mana besar adalah kecil, kecil adalah besar, kanan juga kiri, kiri juga kanan, makro dalam mikro, tak hanya mikro dalam makro. Lama dan sebentar, atau abadi dan sementara, tak lagi dipahami sebegaimana sebelumnya. Bahkan tidak ada dunia dan akherat, sebab keduanya hanya satu, satu menjadi bagian dari lainnya, lainnya menjadi bagian dari satu. Di Indonesia sejumlah orang mulai berpikir untuk meralat prinsipnya menjadi Ketuhanan Yang Maha Tunggal dan Bhinna Ika Esa.
Walhasil janin manusia baru penduduk dunia sedang makin membesar di rahim Ibunda Bumi. Tuhan yang sejak berabad-abad silam selalu hanya disebut-sebut dan dikutip-kutip, sedang meningkatkan frekwensi kehadiran dan keterlibatan-Nya. Tuhan dan para staf-Nya semakin hadir di hati, pikiran dan lidah manusia. Sudah pasti juga sekaligus di alam dan peristiwa-peristiwa sosial. Tuhan makin berperan menciptakan ajal-ajal, mengatur irama sejarah dan menginisiatifi arah dan gelombang zaman yang dijalani oleh manusia.
Dalam bahasa Indonesia, kata “ajal” dimengerti hanya sebagai kematian. “Jika datang ajalnya, tak bisa ditunda waktunya,” Tuhan sendiri berfirman begitu. Saya memahami ajal adalah momentum. Kalau pelawak terlambat sepersepuluh detik mengucapkan suatu kata atau melakukan suatu gerakan, penonton tidak tertawa. Kalau drum, bass atau saron berbunyi terlalu cepat satu tel, harus retake di studio. Kalau penyanyi membunyikan Do minus seperdelapan nada, ia menyakiti telinga pendengarnya. Kalau striker sepakbola terlalu cepat menendang, sehingga sudut kaki sepatunya yang menjadi pucuk eksekutornya tidak tepat derajatnya, kiper lawan mudah menangkapnya.
Itulah ajal. Momentum. Titik silang ruang dan waktu. Sayap Garuda kita 17 helai dan ekornya 8 helai. Andaikan ajal Hiroshima Nagasaki 30 Desember 1945 dan kita merdeka 1 Januari 1946, sangat menyedihkan gambar Garuda kita, Kalau kita berperang, di samping memedomani konstelasi medan, cuaca, perbandingan kekuatan pasukan, kapasitas senjata dan mesiu, pintu kemenangan sangat ditentukan oleh kecerdasan untuk menentukan momentum serangan, oleh ketajaman menakar ajal kapan ajal pertempuran ditentukan.
Akan berlangsung pertandingan besar tinju 26 Agustus nanti antara Floyd Mayweather Jr yang 49 tanding belum pernah kalah, melawan Connor McGregor petarung MMA yang belum pernah tanding tinju. Temukanlah pada mereka berdua ini semua yang saya ketik sejak awal alinea. Mustahil ada aturan olahraga yang memberi izin petinju 0-0 melawan 49-0. Tetapi pertandingan itu sudah legal akan terjadi. Masing-masing akan dibayar 100 juta USD. Apa yang sebenarnya paling berkuasa pada kehidupan manusia sekarang ini? Rasionalitas? Logika? Kepatutan? Hukum dan aturan?
Bukan. Melainkan Isme Kapital . Isme Materi. “Money Fight” nama pertandingan itu. Mungkin McGregor sekali pukul meng-KO Mayweather atau sebaliknya–karena kuasa ajal–dan untuk itu mereka mendapat nafkah 100 juta USD. Tidak hanya dalam dunia tinju, MMA atau olahraga lain, sesungguhnya dalam peristiwa sejarah manusia apapun kapanpun dan di manapun, berlaku rumus: kelemahan dikalahkan oleh kekuatan, kekuatan dikalahkan oleh kecepatan, dan kecepatan dikalahkan oleh momentum. Oleh ajal.
(Baca juga: Keterjebakan Politik Identitas dan Harapan Cak Nun pada Muhammadiyah)
McGregor mengalahkan Jose Aldo juara yang sabuknya ia rebut, dengan ajal, pada detik ke-13. Eddy Alvarez kalah oleh McGregor karena salah ilmu sehingga keliru strategi. Mayweather mengalahkan Pacquiao karena ketajaman membaca momentum pukul lawannya, sehingga peka menentukan ajal-ajal menghindari semua pukulan anggota Parlemen Filipina itu.
Muhammad Ali menjatuhkan Sonny Liston dengan ilmu ajal itu. Bahkan melawan Joe Frazier di Manila tatkala duduk di pojok ring sesudah ronde 14, Ali mencoba ilmu di atas ajal. Dia dan Frazier sudah luar biasa loyo, resminya tak kuat lagi berdiri untuk ronde 15. Tapi Ali nakal. Ia bernegosiasi dengan Maha Pemilik Ajal: “Tuhan, please, jatah tenaga saya besok pagi mohon saya pinjam sekarang, besok saya tidur sepanjang hari”. Ali tiba-tiba berdiri tegak, sementara Frazier tidak mampu mengangkat pantatnya dari kursi. Ali menang TKO, hanya karena masih bisa berdiri.
Para petarung daru Rusia dan Negara-negara Timur semakin menguasai pentas MMA dan tinju dunia, karena terlatih oleh kesempitan dan keterbatasan selama hidupnya. Maka mereka canggih mencari ruang dalam kesempitan. Miocic meng-KO Werdum maupun Dos Santos berbekal ajal dalam konteks ruang. Kalau engkau menakhodai bangsa besar, pasti jangan dengan kekerdilan mental dan kerendahan jiwa. Kalau rakyat kuat engkau panglimai dengan managemen kelemahan, akan terjungkal. Mengelola Negara kaya jangan dengan merasa miskin. Garuda terbang tidak dengan karakter Emprit, apalagi dengan jangkauan Cipret.
Sebab andaikanpun kita mengerti kita kuat sehingga berlaku kuat, masih ada tantangan dalam speed-competition. Kalaupun sudah berlatih kecepatan pencak silat, masih ditantang oleh jurus ajal atau kepekaan momentum Kungfu, Systema dan Sambo, Krav Maga, Okichitaw, Jiujitsu, bahkan jangan remehkan Kalari Payat yang semakin memimpin jagat IT padahal tidak di kampung halamannya sendiri. Itupun, masalah utamanya bukanlah bagaimana mengalahkan yang lain. Kemenangan otentik terletak pada kemauan, kerelaan dan kemantapan untuk menjadi diri sendiri.
Kalaupun nanti national leadership kita akan mencapai koherensinya dengan kebesaran bangsanya, kemudian menjangkau kecepatan bangkit dan larinya, bahkan menggapai ketajaman terhadap koordinat ajal-ajal di hari esok dan masa depannya–masih diperlukan kesadaran bahwa momentum bukanlah aslinya milik manusia. Amati dan peka-ilah perpolitikan nasional tahun-tahun terakhir, termasuk kegaduhan Pilkada di Jakarta, silakan mengidentifikasi peristiwa dan momentum mana saja yang ajal-ajalnya dibikin oleh manusia, serta mana yang inisiatornya “beyond” manusia.
Rakyat tak pernah benar-benar tahu siapa saja sebenarnya pemain-pemain di balik panggung nasional yang mereka hanya ditimpa oleh akibat-akibatnya. Esok hari rakyat akan justru ditolong oleh pemain lain, Pemilik Ajal, yang rakyat sudah hampir tak mempercayai-Nya lagi. Ditolong dengan alasan karena mereka selalu menjadi obyek dan pelengkap penderita dari ajal-ajal yang ditimpakan oleh sesamanya. Apakah ini ramalan? Bukan. Ini iman, tarekat dan istighatsah. Ini keyakinan, keprihatinan dan harapan.
Akan tetapi, saya ulangi: lebih aman untuk tidak usah membacanya. Asalkan hidupmu penuh kasih sayang kepada sesama manusia, kepada alam dan makhluk-makhluk lain. Asalkan engkau tidak ikut mencuri, merekayasa, memperdaya, menipu, membohongi, dengki, curang, men-talbis-i kelaliman dengan pencitraan dan keindahan–apa yang saya tulis ini sama sekali tidak engkau perlukan.
Bahkan bagi mereka yang melakukan hal-hal yang engkau tidak lakukan itu, juga tidak memerlukan tulisan ini. Mereka takkan percaya. Sebab dari seluruh yang ekspresi saudara-saudaramu yang berkuasa itu, tidak pernah ada satu kata atau satu hurufpun, yang menunjukkan bahwa mereka pernah bersalah. Saudara-saudaramu itu tak pernah bersalah, sama persis dengan Tuhan. Kita coba lihat lomba ajal-ajal sejarah antara tuhan-tuhan yang bikin konflik melawan Tuhan itu sampai tujuh tahun mendatang. (*)
*) Emha Ainun Nadjib, budayawan.