PWMU.CO – Tarwiyah dan Thawaf Wada’ dalam Fikih Muhammadiyah disampaikan Dr H Ahmad Zuhdi DH MFilI pada sesi diskusi pelaksanaan haji dan umrah. Topiknya “Permasalahan Ihlal Bersyarat, Tarwiyah, dan Thawaf Wada’ pada Umrah”.
Ini bagian dari rangkaian Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) Lembaga Pembinaan Haji dan Umrah (LPHU) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur di Aula Mas Mansyur, Kantor PWM Jawa Timur, Jalan Kertomenanggal IV/1 Surabaya, Jumat (2/12/2023) siang.
Kata Zuhdi, pihak pemerintah penyelenggara haji mengakui amalan tarwiyah termasuk sunnah. Pernyataan ini mengemuka sebagai hasil bacaan dan pemahamannya terkait kebijakan tersebut.
“Ketidakberanian pemerintah untuk melepaskan kegiatan tersebut disebabkan kekhawatiran akan dampak logistik yang luar biasa, dengan ribuan jamaah haji bergerak dari Majkah ke Mina,” ungkapnya.
Zuhdi menggambarkan kendala tersebut sebagai suatu dilema yang sulit diatasi, yang pada akhirnya membuat pemerintah enggan mengambil keputusan hingga saat ini. “Bisa dibayangkan 200 ribu dari Makkah ke Mina, semuanya itu luar biasa. Bayangannya kayak gitu sulitnya. Akhirnya hingga kemarin itu nggak berani,” ujarnya.
Dalam Rakorwil ini, Zuhdi menjelaskan konsep tarwiyah menurut pandangan fiqih Muhammadiyah. “Tarwiyah merupakan suatu proses ibadah haji yang dilakukan oleh Nabi pada tanggal 8 Dzulhijjah. Pada waktu itu, salah satu tujuan pelaksanaan tarwiyah adalah untuk mempersiapkan perbekalan utama, khususnya air,” terangnya.
Sambil tersenyum, ia bertanya retorik, “Jika dahulu untuk mempersiapkan perbekalan utama yaitu air, sekarang apa ya? Karena sekarang sudah ada semua. Tetap saja. Karena Nabi pernah melakukan ini sehingga pandangan umum dari umat Nabi ingin meniru seperti yang pernah Nabi lakukan.”
Tarwiyah
Zuhdi kemudian menyampaikan pandangan Muhammadiyah terkait tarwiyah. “Jamaah haji dianjurkan untuk melaksanakan tarwiyah namun dengan ketentuan tertentu. Yaitu pertama, pelaksanaan tarwiyah seharusnya tidak menimbulkan bahaya atau mudharat bagi diri mereka sendiri dan kedua, tetap menjaga pemaksimalan ibadah haji secara keseluruhan,” ungkapnya.
Dua hal inilah, kata Zuhdi, menjadi pertimbangan utama sebagai landasan jamaah haji untuk tetap menjalankan tarwiyah. Ini mencerminkan pendekatan Muhammadiyah yang mengedepankan keselamatan dan pemeliharaan pemaksimalan ibadah dalam melaksanakan ritual tarwiyah.
“Jadi kita tidak boleh memaksakan pakai itu tarwiyah, ndak Muhammadiyah bukan begitu pendapatnya. Muhammadiyah itu lentur. Jadi itu sunnah, usahakan sebisa mungkin tapi jika kondisi jelas-jelas tidak mungkin, tidak usah dipaksakan!” tegasnya.
Ia lalu menyoroti kesulitan, terutama terkait masalah tarwiyah, di mana kepastian berangkat hanya satu atau dua hari sebelumnya. Namun, Zuhdi bersyukur karena pada pengalamannya, Allah memberikan jalan keberuntungan dengan bisa mengajak jamaah dari Blitar dan Jember untuk ikut bersama-sama.
“Akhirnya Alhamdulillah, program tarwiyah berlangsung lancar, prosesnya saja yang menemui kesulitan,” kenangnya.
Thawaf Wada
Zuhdi lanjut menjelaskan thawaf wada dalam konteks umrah. Menurutnya, thawaf wada adalah thawaf yang dilakukan sebelum meninggalkan Makkah, baik setelah haji maupun umrah.
“Meskipun ada beberapa mazhab yang tidak mewajibkan thawaf ini, Muhammadiyah cenderung pada pandangan yang memandangnya sebagai kewajiban. Oleh karena itu, agar seluruh jamaah haji tidak segera pulang sebelum melaksanakan thawaf wada,” imbaunya.
Lebih lanjut, Zuhdi menyebutkan perbedaan pendapat di antara ulama terkait umrah, di mana sebagian mewajibkan thawaf wada dan sebagian lainnya tidak. “Ini yang kita khawatirkan, halah sunnah, wes gak usah, jangan gitu!” ucapnya sambil tertawa.
Zuhdi pun membahas pandangan menarik Syeikh Bin Baz yang tercatat dalam Majmu’ Fatawa XVII/442. Menurut Syeikh Bin Baz, thawaf wada’ tidak diwajibkan dalam umrah, meskipun melaksanakannya dianggap lebih utama.
“Bagi mereka yang keluar tanpa melakukan thawaf wada’, tidak dianggap sebagai masalah. Namun, dalam konteks haji, Syeikh Bin Baz berpendapat bahwa thawaf wada’ merupakan kewajiban. Jadi seandainya kata Bin Baz, orang itu keluar dari Makkah waktu umrah itu tanpa thawaf wada, tidak ada masalah. Tapi kalau haji wajib!” tegasnya.
Akhirnya Zuhdi menutup dengan penjelasan untuk hal-hal yang lebih rinci perlu waktu khusus dengan mengadakan lokakarya tentang haji. “Apalagi tadi saya dengar dari LPHU Jatim, ingin membuat Panduan Ibadah Haji,” imbuhnya.
“Saya kira nanti kita akan membaca manasik haji dari Tarjih Pusat. Itu kita pelajari kemudian bisa kita kembangkan dan diskusikan sehingga nanti dapat menjadi bahasa yang lebih mudah dibaca untuk jamaah kita di Jawa Timur,” tutupnya. (*)
Penulis Ario Khairul Habib Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni