PWMU.CO – Disebut pemimpin jika memenuhi tiga syarat Ini disampaikan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur (Jatim) Dr Hidayatulloh MSi di Kajian Ahad Pagi yang diadakan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Probolinggo, di Kompleks Kantor PDM Kota Probolinggo, Ahad (02/12/2023).
Hidayatulloh menerangkan, seseorang dikatakan pemimpin jika melakukan tiga hal. Pertama, harus tahu jalan menuju keberhasilan. “Bapak Ibu bandingkan sekarang, dari sekian capres dan cawapres itu siapa yang bisa menunjukkan jalan menuju keberhasilan,” terangnya.
Kedua, harus bisa menunjukkan jalan yang perlu dilewati sampai pada keberhasilan. “Dia harus bisa menunjukkan, mengarahkan dan menggerakkan yang dipimpin yaitu untuk melewati jalan-jalan keberhasilan itu,” tuturnya.
Ketiga, harus bisa bergerak melewati jalan keberhasilan. “Tidak hanya menuding, merintah saja, tetapi dia juga ikut bersama-sama terlibat di dalam sebuah perjuangan dalam meraih keberhasilan. Dan itu semua harus dijalani dengan penuh kesabaran,” ungkapnya.
Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) itu juga menambahkan, syarat qawiyyu dalam Quran surat al-Qasas ayat 26 yaitu membutuhkan kesehatan untuk seorang pemimpin.
“Dalam mengangkat seseorang yang bekerja saja harus sehat, tidak boleh tidak sehat, mengangkat seorang pemimpin untuk 278 juta orang di negara kita ini. Wilayahnya dari Aceh sampai Papua, sangat luas dan banyak sekali penduduknya,” tegasnya.
“Pasti suatu saat, orang-orang ini butuh ketemu dan ingin mendekat kepada pemimpin ini. Maka mobilitasnya pasti sangat tinggi sekali, karena itu dibutuhkan orang yang kuat. Tentu tidak hanya orang yang kuat secara fisik, tetapi juga mental, dan pikirannya, jiwanya, imannya, intelektualitasnya dan kuat ibadahnya,” tandasnya.
Terpercaya dan Bijaksana
Selain qawiyyu, ayat tersebut tersambung dengan al-amin, terpercaya. “Karena itu, kita diingatkan oleh Allah SWT jangan sampai kita ini menyerahkan urusan kepemimpinan kepada orang yang tidak mempunyai kemampuan, kapasitas dan tidak mempunyai kekuatan,” tegasnya.
Bapak tiga anak itu menambahkan Surat an-Nisa ayat 58, “Allah memerintahkan kepada kita untuk menyerahkan suatu urusan kepada ahlinya. Apalagi ini menyangkut urusan yang sangat besar. Siapakah ahli itu? Yaitu orang yang memiliki kapasitas, kemampuan, jangan kau serahkan kepada orang yang tidak punya kapasitas.”
Memutuskan sesuatu jika harus melahirkan suatu kebijakan maka pastikan keputusan atau kebijakan itu yang bijaksana, berdasarkan atas keadilan. “Sebagai rektor, sekali membuat kebijakan saya membubuhkan tanda tangan dan tanda tangan itu berdampak pada seluruh mahasiswa berjumlah kurang lebih 11.000 dan seluruh dosen dan karyawan di Umsida yang hampir 500 jumlahnya,” katanya.
Apalagi kalau pemimpin itu levelnya nasional. Maka yang merasakan dari Aceh sampai Papua. Dia menegaskan, hanya satu tanda tangan saja itu luar biasa yang merasakan dari Aceh sampai Papua.
“Seorang presiden bebas membuat keputusan, dan keputusan itu harus didasarkan atas keadilan yang penuh dengan kebijaksanaan maka pasti keputusan itu menyelesaikan masalah bukan semakin menimbulkan masalah,” tukasnya.
Tujuan Kebijakan
Karena itu, dia menekankan, kebijakan harus dibuat untuk memenuhi tiga hal. Pertama, kebijakan harus bisa menyelesaikan masalah. “Biasanya kebijakan itu dibuat karena ada masalah yang terjadi sebelumnya. Karena itu kebijakan harus bisa menyelesaikan sebuah masalah,” ujarnya.
Kedua, kebijakan dibuat harus bisa meningkatkan kesejahteraan anggota. “Kalau kita bicara konteks negara, harus bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kalau ada kebijakan yang kemudian menyusahkan rakyat maka itu bukan kebijakan yang efektif,” ungkapnya.
Ketiga, kebijakan itu dikatakan efektif kalau tidak diterapkan dengan semangat menzalimi. Dalam bahasa lain kebijakan itu memenuhi rasa keadilan.
“Yang membuat kebijakan ini tentu harus orang yang tepat, serahkan urusan itu kepada ahlinya yang punya kemampuan dan mereka yang membuat kebijakan itu adalah kebijakan yang berdasarkan kebijaksanaan dan memenuhi rasa keadilan,” imbuhnya.
Kalau melihat kok ada calon itu pernah berbuat zalimnya itu tidak hanya sekali namun berkali-kali, berdasarkan pemahamannya pada al-Quran, maka tidak boleh memilih pemimpin yang zalim itu. (*)
Penulis Dian Rahma Santoso Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni