PWMU.CO – Pendekatan kolaboratif dengan berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk pencegahan stunting.
Hal tersebut ditegaskan Dokter Spesialis Anak Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito Yogyakarta, Dr dr Neti Nurani MKes Sp A(K), saat menyampaikan materi Penanganan Stunting Terkini dan Penguatan Kolaborasi dalam Seminar Pencegahan Stunting yang digelar RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Rabu (6/12/2023).
Dokter Neti mengatakan, stunting adalah pendek atau sangat pendek berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2 standar deviasi (SD) pada kurva pertumbuhan WHO.
“Stunting itu pendek, tetapi pendek belum tentu stunting. Contohnya adalah Presiden BJ Habibie. Meskipun beliau secara perawakan kecil tapi beliau memiliki IQ cemerlang. Sehingga itu tidak dikatakan stunting,” tuturnya memberi contoh.
Dia menjelaskan, ada tiga diagnosis stunting. Pertama adalah anamnesis, kedua pemeriksaan fisik dan antropomertia, ketiga pemeriksaan penunjang.
“Untuk melakukan tatalaksana kita harus tahu cara pencegahan,” ucap Alumnus S3 Universitas Gadjah Mada ini.
Dia mengatakan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting. Di antaranya; ibu hamil yang mengalami Kekurangan Energi Kronik (KEK), pengetahuan yang kurang, keluarga yang secara sosial ekonomi tidak mampu sehingga tidak bisa memberikan nutrisi yang baik kepada anak.
“Stunting tidak terjadi cepat atau tiba-tiba, tetapi melalui beberapa tahap. Stunting diawali dengan berat badan yang tidak naik atau naik tapi tidak optimal. Ini kalau tidak bisa diatasi akan mempengaruhi tinggi badan. Oleh sebab itu sangat penting mengetahui,” tandasnya.
Bayi BBLR dan Pentingnya ASI
Kepada peserta yang memenuhi Ballroom Suara Muhammadiyah (SM) Tower & Convention, dokter Neni pun mengatakan, bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) memiliki kontribusi sangat tinggi terhadap terjadinya stunting, dan ini bisa menjadi situasi darurat bagi perkembangan kognitif.
“Maka ada tiga cara pencegahan stunting, yakni primer, sekunder, tersier. Pencegahan primer dengan cara pemantauan antropomerti secara berkala di tingkat posyandu. Pencegahan sekunder di tatalaksana dokter puskesmas, sementara pencegahan tersier ke dokter spesialis anak di RSUD,” paparnya.
Dia juga mengatakan, pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif selama 6 bulan sampai 2 tahun atau lebih, bisa mencegah stunting, termasuk mencegah berbagai penyakit termasuk obesitas dan penyakit tidak menular lainnya.
“Maka penting sekali memastikan ibu yang memberi ASI. Bagaimana posisinya, perlekatannya, termasuk durasi waktunya. Ibu menyusui minimal adalah 10-20 menit,” ucapnya.
Dia menegaskan, pendekatan kolaboratif antara Posyandu, Puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) sebagai alur rujukan berjenjang sangat penting dalam mencegah terjadinya stunting.
“Di Posyandu kader bisa mengukur, menimbang menganalisis apakah balita ini perlu dirujuk ke puskesmas. Lalu dokter puskesmas menentukan red flags apakah harus dirujuk ke dokter spesialis anak. Kemudian dokter spesialis anak di RSUD menentukan stunting atau bukan dan mentatalaksana,” jelasnya.
Selain itu, dia juga menegaskan bahwa untuk mengatasi stunting tidak hanya tanggung jawab di bidang kesehatan saja. Tapi kita perlu bekerjasama dengan sektor lain.
“Dukungan pemerintah di bidang pertanian, perikanan sebagai penyuplai kebutuhan pokok juga harus bisa kita lakukan. Kolaborasi ini agar memudahkan untuk pencegahan secara optimal,” tandasnya.
Menurutnya, percepatan pencegahan stunting di tiap desa juga harus dilakukan dengan cara punya tim khusus penanganan stunting. Apalagi jika sudah ada balita yang punya tanda-tanda, maka harus melakukan pendampingan ketat. Evaluasi tidak boleh terlalu lama, tapi harus ada pertemuan rutin.
“Support dari pemerintah daerah yakni bupati atau walikota itu juga sangat penting sekali. Karena jika yang atas bergerak, maka yang di bawah akan mengikuti,” pungkasnya. (*)
Kontributor Nely Izzatul