Analisis Kredibilitas al-Darawardi
Dari paparan al-jarh dan al-ta’dil terhadap Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, nilai cacat al-Darawardi hanya pada aspek kedhabitan (kecermatan hafalannya), bukan pada aspek keadilannya (kredibilitasnya). Harus difahami bahwa setiap perawi hadits itu dinilai pada dua aspek. Aspek keadilan dan aspek kedzabitan (kecermatan). Apabila cacat perawi pada aspek keadilannya, maka periwayatannya tertolak, namun apabila cacat pada aspek kecermatannya, akan dirinci apakah dia menyendiri dalam periwayatannya atau ada kesaksian periwayatan yang lain atau apakah nilai negatifnya itu relevan dengan periwayatan hadits?. Pada paparan di atas terbukti Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi menyandang predikat ulama Madinah, tsiqat, muhaddits (ahli hadits) bahkan ada yang memberi predikat amirul mukminin.
Kedua, cacat ke-dhabitan al-Darawardi apabila meriwayatkan dari hafalannya atau kitab orang lain, adapun periwayatan dari kitabnya sendiri tidaklah disangsikan kebenarannya. Itulah sebabnya imam Ahmad menyatakan: “Ia terkenal dengan al-thalab, bilamana meriwayatkan dari bukunya sendiri shahih, tetapi apabila meriwayatkan dari kitab orang lain dia salah, dia sering meriwayatkan dari buku orang lain dan salah”.
Terkait dengan pokok masalah tata cara sujud dapat diketahui bahwa al-Darawardi dalam menerima hadits dari gurunya Muhammad bin Abdullah bin Hasan maupun ketika menyampaikan hadits tersebut kepada muridnya Sa’id bin Mansur dan Marwan bin Muhammad (lihat skema takhrij hadits) dengan lafaz al-tahdits (haddatsana), bukan dengan lafazal-ihbar (ahbarana).
Ini menunjukkan bahwa al-Darawardi ketika menerima hadits dari gurunya maupun menyampaikan hadits tersebut kepada muridnya dengan mengandalkan bukunya sendiri, bukan dengan hafalan. Dengan demikian cacat hafalannya tidak pada tempatnya untuk melemahkan hadits ini. Seperti inilah kejelian yang tidak boleh dilupakan, sehingga nilai negatif tidak selamanya berdampak kepada lemahnya hadits bila ditemukan pokok permasalahannya. Artinya kalau al-Darawardi terbukti menerima dan menyampaikan hadits dengan hafalannya maka haditsnya lemah, namun kalau dia meriwayatkan dengan bukunya sendiri maka haditsnya shahih. Dalam hal ini al-Darawardi meriwayatkan dengan bukunya sendiri, bukan dari hafalannya.
Ketiga, penilaian Nasai bahwa al-Darawardi haditsnya munkar sekiranya ia meriwayatkan kepada gurunya yang bernama Abdullah bin Umar yang dirubah menjadi Ubaidillah bin Umar, dalam kasus ini al-Darawardi tidak meriwayatkan dari Abdullah bin Umar atau Ubaidillah bin Umar melainkan dari gurunya yang bernama Muhammad bin Abdullah bin Hasan. Dengan demikian penilaian “munkar” dari Nasai tidak masuk dalam kajian hadits ini dan tidak boleh digeneralisir. Predikat inilah yang paling keras, dan itu dapat dimaklumi karena Nasai tergolong al-mutasyadidin dalam pengelompokan ulama kritikus hadits.
Keempat, untuk hadits kedua memang guru al-Darawardi adalah Ubaidillah bin Umar. Maka sesuai dengan penilaian negatif ulama hadits ini dinilai munkar, karena al-Darawardi sering mengganti identitas gurunya. Yang semestinya Abdullah bin Umar perawi lemah diganti dengan Ubadillah bin Umar perawi tsiqah. Disinilah letak kesalahan al-Darawardi yang akhirnya divonis Nasai: Munkarul hadits. Dengan demikian sanad hadits ini memang lemah dan haditsnya menjadi hasdits dhaif.
Kelima, dengan demikian seluruh nilai negatif diberlakukan apabila merujuk kepada hafalan al-Darawardi atau periwayatan kepada gurunya yang bernama Abdullah bin Umar al-Umri, atau periwayatannya dari buku orang lain, dan semua nilai jarh tersebut tidak terbukti untuk melemahkan pariwayatan al-Darawardi dalam tata cara sujud dengan demikian tidaklah berlebihan bila riwayat ini maqbul (dapat dijadikan hujah).
Keenam, sebagaimana telah diuraiakan di depan bahwa al-Darawardi tidaklah menyendiri dalam periwayatan hadits ini. Ia mempunyai saksi periwayatan baik berupa syawahid maupun tawabi’ yang akan diuraikan lebih lanjut pada masalah takhrij hadits. Bilamana hanya periwayatan al-Darawardi sudah dinilai sah, apalagi ketika diperkuat dengan periwayatan lainnya.
Ketujuh, perlu diketahui bahwa Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi juga merupakan rijal al-shahihaini. Artinya dia tercantum dalam sanad Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Apabila penilaian dhaif itu digeneralisasi, maka ditemukan sejumlah hadits dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim yang dhaif, karena di dalam sanad (mata rantai perawinya) terdapat Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi.
Di Shahih Muslim saja ditemukan 73 buah hadits, yakni hadits nomor 135, 160, 189, 216, 325, 327, 566, 587, 608, 686, 780, 839, 960, 1014, 1883, 2064, 2163, 2172, 2224, 2293, 2296, 2340, 2667, 2747, 2768, 2827, 3379, 3401, 3418, 3435, 3555, 3834, 4062, 4329, 4338, 4496, 4575, 4584, 4585, 4586, 4876, 5069, 5335, 5441, 5499, 5669, 5686, 5775, 5789, 5818, 5828, 6356, 6400, 6440, 6453, 6579, 6662, 6700, 6702, 6710, 6867, 6874, 6876, 6910, 6932, 7175, 7300, 7384, 7491, 7492, 7517, 7606, dan 7673.
Kedelapan: Sebagai contoh hadits dalam Shahih Muslim nomor: 135 dengan redaksi sebagai berikut:
135 – حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ الضَّبِّىُّ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِى الدَّرَاوَرْدِىَّ عَنِ الْعَلاَءِ ح وَحَدَّثَنَا أُمَيَّةُ بْنُ بِسْطَامَ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا رَوْحٌ عَنِ الْعَلاَءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْقُوبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَيُؤْمِنُوا بِى وَبِمَا جِئْتُ بِهِ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ.
Hadits di atas dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab al-Shahih nomor: 135 dari Ahmad bin Abdah a bin Zurai’l-Dhabbi dari Abdul Aziz al-Darawardi dari al-Ala’ [h] dan diriwayatkan Umaiyah bin Bistham dari Yazid bin Zurai’ dari Rauh dari al-Ala’ bin Abdurrahman bin Yakqub dari bapaknya dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw. bersabda: Saya diperintah memerangi umat sampai mereka mau berikrar tidak ada tuhan selain Allah, percaya kepada saya dan apa saja yang saya bawakan. Apabila mereka telak melaksanakannya, maka mereka itu terjaga darahnya, dan hartanya dariku, kecuali dengan hak keislamannya, adapun perhitungan (konsistensi syahadatnya) adalah urusan Allah (apakah dia berikrar karena ketulusan atau kemunafikan belaka, hanya Allah yang mengetahui dan mengganjarnya).
Di dalam sanad (mata rantai perawi) hadits di atas ada yang bernama Abdul Aziz al-Darawardi, sekiranya nilai kedhaifannya digeneralisir maka contoh hadits yang ada di Shahih Muslim itu pun juga dhaif. Di sinilah kelemahan metode “Nadwah Mudzakarah”. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
[1] Direktur Markaz Turats Nabawi (Pusat Studi Hadits) https://konsorsiumhadis.com
[2] Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi dalam riwayat ini tidaklah menyendiri, melainkan telah diikuti oleh Abdullah bin Nafi’. Seperti ini bentuk kelemahan lain dari metodologi Nadwa Mudzakkarah yang kurang jeli dalam memaparkan al-syawahid dan al-tawabi’ suatu hadits.
[3] Abdurrahman bin Abu Hatim. Al-Jarh wa al-Ta’dil, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1271/1952 ), p. 5: 396.
[4] Muhammad bin Ahmad bin Usman al-Dzahabi. Mizan al-I’tidal, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1382/1963), p. 2: 633.
[5] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani. Tahdzib al-Tahdzib, (India: Dar al-Fikr al-Arabi, 1325), p. 6: 354.
[6] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani. Taqrib al-Tahdzib, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1395/1975), p. 1: 512.