Tujuh Kesimpulan
Maka berdasarkan pada paparan asbab jarh terhadap al-Darawardi dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, terbukti Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi menyandang predikat ulama Madinah, tsiqat, muhaddits (ahli hadits) bahkan ada yang memberi predikat amirul mukminin.
Kedua, cacat ke-dhabitan al-Darawardi apabila meriwayatkan dari hafalannya atau kitab orang lain, adapun periwayatan dari kitabnya sendiri tidaklah disangsikan kebenarannya. Itulah sebabnya imam Ahmad menyatakan: Ia terkenal dengan al-thalab, bilamana ia meriwayatkan dari bukunya sendiri shahih, tetapi apabila meriwayatkan dari kitab orang lain dia salah, dia sering meriwayatkan dari buku orang lain dan salah.
Terkait dengan pokok masalah tata cara sujud dapat diketahui bahwa:
Pertama, ketika Al-Darawardi dalam menerima hadits dari gurunya Muhammad bin Abdullah bin Hasan maupun ketika menyampaikan hadits tersebut kepada muridnya Sa’id bin Mansur dan Marwan bin Muhammad dengan lafaz al-tahdits (haddatsana), bukan dengan lafaz al-ihbar (ahbarana).
Ini menunjukkan bahwa al-Darawardi ketika menerima hadits dari gurunya maupun menyampaikan hadits tersebut kepada muridnya dengan mengandalkan bukunya sendiri, bukan dengan hafalan.
Dengan demikian cacat hafalannya tidak pada tempatnya untuk melemahkan hadits ini.
Seperti inilah kejelian yang tidak boleh dilupakan, sehingga nilai negatif tidak selamanya berdampak kepada lemahnya hadits bila ditemukan pokok permasalahannya. Artinya kalau al-Darawardi terbukti menerima dan menyampaikan hadits dengan hafalannya maka haditsnya lemah, namun kalau dia meriwayatkan dengan bukunya sendiri maka haditsnya shahih. Dalam hal ini al-Darawardi meriwayatkan dengan bukunya sendiri, bukan dari hafalannya. Maka periwayaannya adalah shahih.
Ketiga, penilaian Nasai bahwa al-Darawardi haditsnya munkar sekiranya ia meriwayatkan kepada gurunya yang bernama Abdullah bin Umar yang dirubah menjadi Ubaidillah bin Umar, dalam kasus ini al-Darawardi tidak meriwayatkan dari Abdullah bin Umar atau Ubaidillah bin Umar, melainkan dari gurunya yang bernama Muhammad bin Abdullah bin Hasan.
Dengan demikian penilaian munkar dari Nasai tidak masuk dalam kajian hadits ini dan tidak boleh digeneralisasi.
Predikat inilah yang paling keras, dan itu dapat dimaklumi karena Nasai tergolong al-mutasyadidin dalam pengelompokan ulama kritikus hadits. Dengan penjelasan seperti ini maka penilaian jarh Nasai tersebut sama sekali tidak berdampak pada ke-shahih-an periwayatan al-Darawardi.
Keempat, untuk hadits kedua memang guru al-Darawardi adalah Ubaidillah bin Umar. Maka sesuai dengan penilaian negatif ulama hadits ini dinilai munkar, karena al-Darawardi sering mengganti identitas gurunya. Yang semestinya Abdullah bin Umar perawi lemah diganti dengan Ubadillah bin Umar perawi tsiqah.
Di sinilah letak kesalahan al-Darawardi yang akhirnya divonis Nasai: Munkarul hadits. Dengan demikian sanad hadits ini memang lemah dan haditsnya menjadi hasdits dhaif. Dengan demikian hadits yang kedua memang dhaif, namun hadits yang pertama adalah shahih. Oleh karena itu hadits yang dhaif ini hanyalah dijadikan kesaksian periwayatan saja, sebenarnya cukup dengan hadits pertama yang shahih itu sebagai dasar meletakkan tangan sebelum lutut sewaktu sujud.
Kelima, dengan demikian seluruh nilai negatif diberlakukan apabila merujuk kepada hafalan al-Darawardi atau periwayatan kepada gurunya yang bernama Abdullah bin Umar al-Umri, atau periwayatannya dari buku orang lain, dan semua nilai jarh tersebut tidak terbukti untuk melemahkan pariwayatan al-Darawardi dalam tata cara sujud dengan demikian tidaklah berlebihan bila riwayat ini maqbul (dapat dijadikan hujah). Yakni hadits yang pertama.
Keenam, sebagaimana telah diuraiakan di depan bahwa al-Darawardi tidaklah menyendiri dalam periwayatan hadits ini. Ia mempunyai saksi periwayatan baik berupa syawahid maupun tawabi’ yang akan diuraikan lebih lanjut pada masalah takhrij hadits. Bilamana hanya periwayatan al-Darawardi sudah dinilai shahih, apalagi ketika diperkuat dengan periwayatan lainnya.
Ketujuh, perlu diketahui bahwa Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi juga merupakan rijal al-shahihaini. Artinya dia tercantum dalam sanad Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Apabila penilaian dhaif itu digeneralisir, maka ditemukan sejumlah hadits dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim yang dhaif, karena di dalam sanad (mata rantai perawinya) terdapat Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi. Di Shahih Muslim saja ditemukan 73 buah hadits. Yakni hadits nomor 135, 160, 189, 216, 325, 327, 566, 587, 608, 686, 780, 839, 960, 1014, 1883, 2064, 2163, 2172, 2224, 2293, 2296, 2340, 2667, 2747, 2768, 2827, 3379, 3401, 3418, 3435, 3555, 3834, 4062, 4329, 4338, 4496, 4575, 4584, 4585, 4586, 4876, 5069, 5335, 5441, 5499, 5669, 5686, 5775, 5789, 5818, 5828, 6356, 6400, 6440, 6453, 6579, 6662, 6700, 6702, 6710, 6867, 6874, 6876, 6910, 6932, 7175, 7300, 7384, 7491, 7492, 7517, 7606, dan 7673.
Alhamdulillah, setelah paparan yang sangat panjang akhirnya dapat disimpulkan bahwa riwayat Abu Hurairah, bahwa tata cara sujud adalah mendahulukan tangan sebelum lutut akhirnya ditemukan sanadnya shahih.
Artikel berikutnya akan memaparkan berbagai kendala terkait kajian matan hadits periwataran Abu Hurairah sewaktu sujud mendahulukan tangan daripada lutut, insyaallah.
Editor Mohammad Nurfatoni