Gimik, Gemoy, dan Gagasan Capres oleh Hudiyo Firmanto, Dosen PTS di Surabaya
PWMU.CO – Di tengah era kampanye pemilihan presiden, suasana penuh dengan saling sindir dan serangan tergambar jelas di berbagai media dari pasangan calon presiden dan wakil presiden maupun pendukungnya.
Tim kampanye dengan cerdik memunculkan gimik, gemoy, gagasan, jargon guna memberikan identitas khas pada calon mereka, menciptakan daya pesona yang dapat menarik dukungan pemilih.
Anies Baswedan, calon pasangan nomor satu kerap menjadi sasaran serangan dengan kata-kata pedas seperti pintar omong, pintar bicara, tapi tak bisa kerja, dan istilah mulut manis.
Di dalam satu sesi diskusi, salah seorang penanya bahkan berkata: ”Yang kita butuhkan adalah presiden, bukan pujangga.”
Sindiran dengan kata-kata tersebut bisa menjadi pengakuan akan keterampilan berbicara yang dimiliki oleh Anies. Sepertinya, dibandingkan dengan dua pasangan Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud, pasangan Anies-Muhaimin lebih menonjolkan media dialogis dalam kegiatan kampanyenya.
Cara itu membuat publik mudah untuk mengenali gagasan dan kemampuan untuk menyampaikannya.
Di luar masalah serang-menyerang, atau sindir-menyindir, kemampuan komunikasi dan berbahasa adalah hal penting untuk dikuasai oleh pejabat publik.
Seorang pejabat publik dituntut untuk memunculkan gagasan, menarasikan, dan melaksanakan gagasannya. Menarasikan gagasan adalah bagian integral dari pekerjaan pejabat publik termasuk presiden.
Julukan pandai bicara yang hanya ditujukan kepada Anies menunjukkan bahwa keterampilan berbicara tidak dimiliki oleh setiap orang.
Penelitian dosen Universitas Hasanudin (Wira Kafryawan, dkk., 2018) menyimpulkan keterampilan berbicara berkorelasi dengan kecerdasan seseorang. Elemen-elemen kecerdasan sangat esensial di dalam memengaruhi keterampilan berbicara.
Berbicara merupakan suatu proses berpikir cepat. Ketika berdiskusi, seseorang harus mencerna informasi yang diterima dari lawan bicaranya dalam waktu singkat.
Selanjutnya dia harus merespon dengan kalimat yang tepat. Proses ini melibatkan pemilihan substansi jawaban dan kata yang sesuai, pembentukan kalimat yang tepat, pengaturan pengucapan, intonasi, serta ekspresi wajah. Semua ini berlangsung dalam waktu sesaat.
Keterampilan berbicara adalah bagian dari kecerdasan linguistik yang merupakan satu dari sembilan kecerdasan majemuk manusia (https://lib.ub.ac.id/news/9-jenis-kecerdasan-manusia/).
Orang dengan keterampilan berbicara yang baik memiliki karakteristik mudah mengingat informasi, suka membaca dan menulis, memiliki kemampuan persuasif dan selera humor yang tinggi.
Di dalam konteks Pemilu, hal yang baik bisa dinarasikan sebagai sesuatu yang negatif, jika itu dimiliki oleh lawan politik. Yang utama adalah menjatuhkan lawan dan mengunggulkan kawan.
Pada kasus ”mulut manis” Anies Baswedan, serangan lawan politiknya membuat seolah-olah kepandaian berbicara adalah satu hal yang buruk.
Terlepas dari konstelasi Pemilu yang terjadi, nilai penting dari pembelajaran komunikasi tidak bisa diabaikan.
Kemampuan berbicara dengan efektif bukan hanya tentang menyajikan kata-kata dengan indah, tetapi juga mencerminkan pemahaman yang mendalam terhadap isu-isu yang dihadapi oleh masyarakat.
Meskipun dalam suasana persaingan politik, kita tidak seharusnya menafikan pentingnya belajar komunikasi dalam pembentukan seorang pemimpin yang mampu memimpin dengan bijak dan membawa perubahan positif bagi masyarakat. Bukan semata memunculkan gimik.
Editor Sugeng Purwanto