PWMU.CO – Pengamat politik dari Universitas Airlangga Surabaya Drs Aribowo MS mengungkapkan bahwa sekarang ini banyak orang berpikir, sepertinya pada pemilu mendatang Jokowi yang akan jadi presiden. “Tapi perlu diingat Jokowi belum tentu menang. Coba lihat Ahok, kurang apa dia? Akhirnya toh anjlok juga,” katanya dalam acara Silaturrahim dan Konsolidasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, di Aula KH Mas Mansur, Gedung PWM Jatim, Jalan Kertomenaggal Surabaya, Ahad (23/7).
(Baca: Ini 3 Tafsir Filosofis “Sepeda Jokowi” Menurut Mendikbud dan Aribowo Bangga Muridnya Jadi Ketua KPU RI)
Wakil Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim ini juga mengritik sikap pemerintah Jokowi yang memaksakan UU Pemilu yang baru. “Kebijakan presidential threshold 20 persen sangat tidak masuk akal. Tapi itu digunakan oleh kekuasaan. Karena itu kalau ada apa-apa jangan salahkan KPU,” kata Aribowo yang menyebut bahwa pemimpin sekarang ini seperti Orba jilid 2 karena terlihat otoriter. “Sekarang banyak calon presiden yang tidak cerdas karena keserakahan,” ucapnya.
Terkait dengan Pilgub Jatim 2018, Aribowo menyebut bahwa ada 3 calon gubernur yang cukup diperhitungkan, yaitu Gus Ipul, Khofifah, dan Tri Rismaharini. “Risma pendukungnya lebih banyak dari kota. Sementara Khofifah semakin kuat di daerah-daerah. Tinggal bagaimana Jakarta yang saat ini masih ribut, belum bisa ditebak mau kemana,” papar Aribowo yang menggarisbawahi bahwa media sosial merupakan media yang paling tepat untuk menampilkan panggung gerakan politik.
(Baca juga: Begini Kata Ahli Politik Muhammadiyah soal Rezim Jokowi)
Aribowo juga menyoroti tiga gejala politik mutakhir di Jatim. Pertama, gejala dealignment politics, yang indikatornya adalah menurunkan angka kehadiran pemilih, meningkatnya angka perpindahan pilihan, menguatnya dukungan pada partai ketiga dan banyaknya pemilih independen.
“Kedua, oligarki politik atau politik dinasti. Dan yang ketiga politik begal,” kata mantan Ketua Dewan Kesenian Surabaya (DKS) ini. Menurutnya, politik begal (jegal) bermakna agar tidak ada calon lain dan agar tidak ada pilkada. (Uzlifah)
PWMU.CO – Pengamat politik dari Universitas Airlangga Surabaya Drs Aribowo MS mengungkapkan bahwa sekarang ini banyak orang berpikir, sepertinya pada pemilu mendatang Jokowi yang akan jadi presiden. “Tapi perlu diingat Jokowi belum tentu menang. Coba lihat Ahok, kurang apa dia? Akhirnya toh anjlok juga,” katanya dalam acara Silaturrahim dan Konsolidasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, di Aula KH Mas Mansur, Gedung PWM Jatim, Jalan Kertomenaggal Surabaya, Ahad (23/7).
(Baca: Ini 3 Tafsir Filosofis “Sepeda Jokowi” Menurut Mendikbud dan Aribowo Bangga Muridnya Jadi Ketua KPU RI)
Wakil Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim ini juga mengritik sikap pemerintah Jokowi yang memaksakan UU Pemilu yang baru. “Kebijakan presidential threshold 20 persen sangat tidak masuk akal. Tapi itu digunakan oleh kekuasaan. Karena itu kalau ada apa-apa jangan salahkan KPU,” kata Aribowo yang menyebut bahwa pemimpin sekarang ini seperti Orba jilid 2 karena terlihat otoriter. “Sekarang banyak calon presiden yang tidak cerdas karena keserakahan,” ucapnya.
Terkait dengan Pilgub Jatim 2018, Aribowo menyebut bahwa ada 3 calon gubernur yang cukup diperhitungkan, yaitu Gus Ipul, Khofifah, dan Tri Rismaharini. “Risma pendukungnya lebih banyak dari kota. Sementara Khofifah semakin kuat di daerah-daerah. Tinggal bagaimana Jakarta yang saat ini masih ribut, belum bisa ditebak mau kemana,” papar Aribowo yang menggarisbawahi bahwa media sosial merupakan media yang paling tepat untuk menampilkan panggung gerakan politik.
(Baca juga: Begini Kata Ahli Politik Muhammadiyah soal Rezim Jokowi)
Aribowo juga menyoroti tiga gejala politik mutakhir di Jatim. Pertama, gejala dealignment politics, yang indikatornya adalah menurunkan angka kehadiran pemilih, meningkatnya angka perpindahan pilihan, menguatnya dukungan pada partai ketiga dan banyaknya pemilih independen.
“Kedua, oligarki politik atau politik dinasti. Dan yang ketiga politik begal,” kata mantan Ketua Dewan Kesenian Surabaya (DKS) ini. Menurutnya, politik begal (jegal) bermakna agar tidak ada calon lain dan agar tidak ada pilkada. (Uzlifah)