PWMU.CO – Pengungsi Rohingya kembali mendarat ke pantai Aceh dengan perahu kayu awal bulan ini. Warga setempat memberi tampungan sementara.
Abdu Rahman, 23 tahun, memainkan gitar di bawah tenda, bernyanyi bersama beberapa teman sesama pengungsi lainya.
Saat ini ia tinggal di kamp penampungan sementara di Desa Kulee, Pidie, Provinsi Aceh, bersama 232 pengungsi Rohingya lainnya.
Perahu yang mereka tumpangi dari Bangladesh tiba di pantai Kulee pada pertengahan November lalu.
“Ini perjalanan pertama saya keluar dari kamp pengungsian Cox’s Bazar, Bangladesh,” kata Abdu Rahman kepada Habil Razali, koresponden ABC News di Aceh.
Kapal kayu yang mereka tumpangi berangkat dari pantai Teknaf, Bangladesh, awal November lalu.
Akhir pekan Sabtu (2/12/2023), lebih dari 130 pengungsi Rohingya tiba di pantai Desa le Meulee, Kota Sabang, Aceh.
Sepanjang bulan November, sudah lebih dari 1.000 pengungsi Rohingya tiba di Aceh. Ini menjadi gelombang kedatangan pengungsi Rohingya terbanyak ke Indonesia sejak tahun 2015.
Abdu mengatakan di kapalnya saat itu ada 278 orang, tapi jumlahnya menjadi 233 saat tiba di Aceh.
“Beberapa orang pindah ke kapal lain pada saat di laut. Seorang perempuan meninggal karena kekurangan air,” katanya.
Ia mengatakan, persediaan makanan berupa beras dan air habis dalam sepekan. Mereka harus menunggu hujan untuk minum.
Perahu mencapai perairan Andaman sekitar lima atau enam hari kemudian.
“Ketika kami sampai di sana, terjadi badai disertai hujan deras. Kami semua hampir mati,” katanya.
Ketakutan lain bertambah saat mesin kapal kehabisan bahan bakar.
“Untungnya, kami mendapatkan minyak dari kapal lain di laut, dan tentu juga air,” katanya.
Perahu akhirnya mencapai daratan Aceh, lalu para pengungsi diselamatkan warga setempat yang iba melihat kondisi anak-anak.
Masa Depan Gelap
Abdu Rahman lahir tahun 2000 di Maungdaw, negara bagian Arakan, Myanmar. Ia mengaku saat berusia 17 tahun, militer datang ke desanya, menangkap warga secara sewenang-wenang dan mengumpulkan semua orang.
“Mereka membunuh warga Rohingya yang tidak bersalah, membakar rumah kami, dan memaksa kami mengungsi ke Bangladesh,” katanya.
Di kamp pengungsi Cox’s Bazar di Bangladesh awalnya ada fasilitas dan layanan untuk kebutuhan dasar dari UNHCR dan organisasi lokal lainnya bersama pemerintah.
Namun situasi kamp kian memburuk setelah bantuan terhenti dan meningkatnya kriminalitas hingga perdagangan manusia.
Abdu mengatakan dirinya merasa “diperdagangkan” dalam perjalanan ke Aceh karena tidak mengetahui risikonya dan “semua orang menjadi korban” seperti dirinya.
Chris Lewa, direktur The Arakan Project, yang berfokus pada hak asasi Rohingya, mengatakan masalah lain yang dihadapi warga Rohingya di Cox’s Bazar adalah kurangnya akses terhadap makanan, karena “berkurangnya dukungan dari komunitas internasional”.
“Sejumlah besar pengungsi tiba di Indonesia karena Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang hingga saat ini mengizinkan mereka untuk turun,” kata Chris.
Perahu-perahu mudah didapatkan saat ini, karena banyak nelayan di Bangladesh yang menjualnya kepada penyelundup manusia saat industri perikanan di Bangladesh mengalami krisis akibat menurunnya stok ikan.
Warga Rohingya lainnya yang berada dalam satu kapal dengan Abdu adalah Khairul Amin, 38 tahun, yang datang bersama istrinya, Minara Begum, 35 tahun, dan ketiga anak-anaknya, Asmaul Husna, Nurul Islam, dan Nur Husen.
Di tahun 1992, Khairul pergi dari tanah airnya di Duchi Radeng, Maungdaw, Myanmar, bersama orang tuanya karena konflik.
Sejak usia tujuh tahun ia sudah tinggal di kamp pengungsi Cox’s Bazar dengan bekerja sebagai pedagang dan pekerjaan lepasan lainnya.
“Daripada mendapat masalah di kamp pengungsian di Bangladesh, lebih baik meninggalkan kamp demi kehidupan yang damai dan lebih baik bagi keluarga saya,” katanya.
“Harapannya, di Indonesia ada perdamaian bagi para pengungsi. Saya ingin menghabiskan masa damai bersama keluarga di sini. Saya ingin anak-anak mendapatkan masa depan yang lebih baik dan berpendidikan,” katanya.
Untuk melakukan perjalanan ke Aceh, Abdu dan Khairul mengaku membayar 100.000 taka, lebih dari Rp 14 juta per orang, kecuali untuk anak-anak yang berusia di bawah 10 tahun.
Hati Kami Tak Sekeras Batu
Kedatangan pengungsi Rohingya tidak selalu disambut dengan baik oleh warga Aceh. Seperti ada laporan penolakan sempat terjadi di Jangka, Bireuen dan Muara Batu, Aceh Utara.
Tapi menurut Panglima Laôt, sebuah lembaga adat laut Aceh, peraturan adat menyebutkan siapa saja, bahkan hewan sekali pun, wajib dibantu bila mengalami kesulitan di laut.
Ketua Panglima Laôt, Miftachhuddin Cut Adek, menegaskan secara adat, warga tidak boleh menolak dan juga tidak berwenang menerima mereka.
Namun, jika pengungsi itu turun sendiri ke darat seperti baru-baru ini, hukum adat melarang untuk mendorong mereka kembali ke laut.
Regulasi adat, yang juga mengadopsi aturan syariah tidak memandang agama dan ras, tapi lebih pada pertimbangan kemanusiaan.
Itulah alasan Efendi, seorang nelayan berusia 40 tahun, ikut menolong ratusan pengungsi Rohingya di desanya.
Ia berjaga di kamp penampungan Desa Kulee untuk memastikan para pengungsi Rohingya mendapat makanan yang layak.
“Selama tinggal di sini jangan ada yang sakit. Makanan pun tidak diberikan sembarangan, harus diperiksa, jangan sampai mereka sakit,” kata Efendi.
Dia mengatakan, bantuan warga setempat untuk para pengungsi Rohingya dilakukan sepenuh hati. “Karena hati kita tidak sekeras batu,” ujarnya.
Aceh saat ini menjadi provinsi dengan penduduk miskin terbanyak di Pulau Sumatra.
Daerah otonomi khusus di Indonesia ini masih berusaha bangkit dari dampak panjang konflik bersenjata hampir tiga dekade dari tahun 1976 hingga 2005.
Jangan Dibiarkan Sendirian
Awal pekan lalu Senin (4/12/2023), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan pemerintah Indonesia akan mengembalikan para pengungsi Rohingya ke negara asalnya.
“Akan kami rapatkan bagaimana caranya mengembalikan ke negaranya melalui PBB, karena ada perwakilannya,” ujar Mahfud.
Mahfud menegaskan Indonesia tidak ikut menandatangani konferensi PBB soal pengungsi.
Mengomentari soal laporan sempat adanya penolakan dari sejumlah warga di Aceh, ia mengatakan hal terebut terjadi karena semakin banyak pengungsi Rohingya yang datang.
“[Mereka] turun tangan terus-terusan, kewalahan, orang Aceh sudah menolak,” jelasnya.
Sejumlah pengamat menilai ASEAN tidak cukup berbuat banyak atas masalah gelombang pengungsi Rohingya, termasuk mengatasi konflik berkepanjangan di Myanmar.
Adriana Elisabeth dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, mengatakan, Indonesia tidak bisa lagi menangani krisis pengungsi sendirian.
“Kerja sama di dalam ASEAN sendiri sangat diperlukan,” ujarnya.
Ia juga berpendapat pilihan solusi lainnya adalah meminta “kekuatan eksternal” dari negara-negara yang bukan anggota ASEAN.
“[Misalnya] beberapa negara Timur Tengah mempekerjakan orang-orang Rohingya dengan upah yang relatif rendah … menguntungkan negara-negara tersebut secara ekonomi,” usulnya.
Chris Lewa dari The Arakan Project mengatakan sekarang menjadi saat yang tepat untuk meninjau kembali Bali Process, sebuah forum yang didirikan oleh Australia dan Indonesia pada tahun 2002 untuk menangani perdagangan manusia.
“[Pemerintah Indonesia dan Australia] pada Mei lalu sepakat untuk mengaktifkan mekanisme konsultasi,” ujarnya.
“Sudah saatnya untuk menerapkan mekanisme konsultasi ini dan setidaknya memulai diskusi tentang bagaimana menggunakan pendekatan regional untuk mengatasi krisis Rohingya.”
Australia hanya memberikan visa kepada 470 warga Rohingya di bawah program kemanusiaan khusus sejak tahun 2008, yang menurut sejumlah pengamat jumlah ini “sangat kecil”.
Panglima Laôt Aceh juga meminta Pemerintah Indonesia dan negara lain di Asia Tenggara untuk membahas lebih serius masalah ini.
“Lembaga dunia yang lain juga harus datang ke Aceh untuk membantu penanganan pengungsi ini, masyarakat Aceh jangan dibiarkan sendirian,” katanya.
Meski Aceh jadi rumah sementara bagi Abdu dan ribuan warga Rohingya lainnya, mereka tetap ingin bisa kembali ke tanah airnya suatu hari nanti.
“Karena kami mempunyai tanah air sendiri, yaitu di Myanmar,” kata Abdu.
Editor Sugeng Purwanto