Indonesia Makam Pancasila
Oleh Emha Ainun Nadjib*)
PWMU.CO – Goal puncak kehidupan bernegara kita di Indonesia adalah tercapainya Sila-5: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tampaknya itu sudah tercapai. Kalau melihat kegaduhan nasional dua tahun terakhir ini tema utamanya adalah ideologi, filosofi, dan prinsip-prinsip nilai. Misalnya intoleransi, penistaan Agama, radikalisme. Tidak ada pergolakan yang menyangkut keadilan sosial. Ada komponen-komponennya, tetapi substansi yang diambil bukan soal keadilan sosial. Ada juga pergesekan tentang komunisme, tetapi yang dipersoalkan bukan ketidakadilan ekonomi, melainkan eksistensi ideologi.
Maka, agar bangsa dan rakyat semua bergembira, saya bersangka baik menyimpulkan bahwa kehidupan bernegara dan berbangsa kita, kalau memakai parameter Sila-5, sudah tercapai. Bangsa ini sudah menjalankan sejarahnya dengan baik, memilih pemimpin dan pemerintahannya dengan matang, menentukan langkah-langkahnya ke masa depan dengan presisi terhadap keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
(Baca: Cak Nun tentang Lomba Ajal di Gerbang Perubahan, Ada Peristiwa Besar pada 26 Agustus 2017?)
Kalau Sila-5 tercapai, berarti mesin pemerintahan di Sila-4 bagus konstruksi dan putaran mesinnya. Berarti juga para arsitek yang membangun pemerintahan, yakni Parpol, Ormas, dan laboratorium intelektual kaum cendekiawan, Ulama dan semuanya di Sila-3, telah bekerja dengan baik pula. Itu semua berkat keberhasilan dunia kependidikan formal maupun sosio-kultural membangun “manusia yang adil dan beradab” di Sila-2. Dan di puncaknya, dinamika teknologi sejarah dari Sila-2, 3, 4 hingga mencapai Sila-5, didasari oleh Sila-1 yang jelas mencerminkan harmonisnya hubungan bangsa Indonesia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Maka aman pulalah perjalanan mudik bangsa besar ini ke kampung halaman aslinya, yakni Sorga. Malaikat Malik juru kunci Neraka akan terkagum-kagum menyaksikan amat sedikit warga negara Indonesia yang berada di bawah kepengurusannya. Saya sekeluarga mohon izin ikut rombongan bangsa Indonesia memasuki pintu sorga, dengan menyanyikan Lagu Kebangsaan “Indonesia, Tanah Yang Suci”. Disambung lagu “Syukur” karya Habib Munthahar Al Habsyi.
Dengan demikian saya juga tidak heran betapa masyarakat dunia makin kagum kepada Pancasila. Sebab pemahaman filosofi kehidupan, spektrum nilai, hingga bangunan peradaban yang berlaku pada dunia dengan globalisasinya saat ini, memang berada selangkah di belakang Pancasila. Tulisan ini bermaksud mensyukurinya, dengan saya mohon izin mengulang tiga terminilogi. Pertama, Evolusi 6 Tahap. Kedua, Empat Sumpah Tuhan: dinamika Tin-Zaitun-Turisinin-Baladil Amin. Dan ketiga, evolusi Bluluk, Cengkir, Degan dan Kelapa.
Kalau pakai “Evolusi 6 Tahap”, dunia saat ini berada pada Tahap-4: Manusia. Dengan Pancasila kita naik ke Tahap-5: Hamba. Kemudian puncaknya Tahap-6.: Duta. Tahap-1 adalah Benda. Tahap-2 Benda yang Berketumbuhan. Tahap-3 Benda yang berketumbuhan dan bergerak, sehingga memerlukan darah daging serta komponen-komponen biologis lainnya, dengan kelengkapan untuk pergerakan. Tahap-4, manusia, adalah hewan plus akal.
(Baca juga: Keterjebakan Politik Identitas dan Harapan Cak Nun pada Muhammadiyah)
Inilah tahap modernisme global yang sedang kita jalani sedunia, di mana manusia adalah Boss. Manusia adalah subjek primer. Manusia adalah ‘tuhan’ bagi semua yang lain. Cara berpikir, pola pandang, tatanan dan aturan dunia ditentukan secara absolut oleh manusia. Manusia memegang supremasi kebenaran, kebaikan dan keindahan. Apakah manusia berkerumun sebagai gerombolan Suku di hutan, ataukah melingkar secara Perdikan, menyusun pertalian komunal, mendirikan Kerajaan atau Kesultanan atau Negara: sepenuhnya berada di tangan ‘tuhan’ manusia. Hak asasi hidup adalah milik manusia. Pemilihan kepemimpinan, dengan cara demokrasi atau apapun, mutlak merupakan otoritas manusia. Hewan, tetumbuhan, alam, gunung, sungai, lautan, udara dan air, adalah ‘budak’nya manusia.
Dan karena manusia adalah ‘tuhan’ atau Boss, maka di antara mereka terdapat sejumlah manusia yang menjadi Big Boss: mengatur segala sesuatu, menguasai modal, tanah, aset, alat-alat produksi, mengatur arah sejarah, menentukan wajah politik, kebudayaan dan perubahan, menguasai semua ukuran-ukuran. Sehingga tidak ada Negara yang benar-benar Negara, dan tidak ada kemerdekaan yang sungguh-sungguh merdeka.
Di tengah itu semua Pancasila membawa manusia selangkah lebih maju. Dengan Sila-1 Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin Tuhan menjadi anak buah atau karyawan manusia. Struktur otoritasnya berubah sangat mendasar. Tuhan adalah Maha Pencipta dan Pemilik Perusahaan Kehidupan. Ia yang menentukan segala aturan. Ia menjatah jumlah detak jantung setiap manusia. Tuhan yang mengambil keputusan kenapa manusia dihidupkan, harus melakukan apa, dilarang mengerjakan apa, ke mana tujuannya, di mana terminal terakhir perjalanannya. Meskipun demikian, kalau dalam ‘birokrasi’ Islam, Tuhan hanya mengikat manusia 3,5% dalam regulasi Ibadah Mahdlah. Selebihnya pada 96,5% Ibadah Muamalah, manusia diberi ruang demokrasi yang sangat luas.
Di Negara Pancasila, Pemerintah menentukan haluan Negara berdasarkan pembelajaran tentang bagaimana Tuhan mengkonsep manusia dan dunia. Setiap rapat pucuk pimpinan dan sidang kabinet, tidak mengambil keputusan apapun sebelum mengkonfirmasikan program-programnya dengan policy Tuhan. Vox dei vox populi. Kemauan Tuhan adalah kemauan rakyat. Negara dan Pemerintah mematuhinya. Presiden dan para Menteri beristikharah menanyakan kepada Tuhan tentang apa saja yang mereka rencanakan: menggali tambang, mengolah darat dan laut, menarik pajak, menaikkan harga, berhutang, mengurut skala prioritas atau wajib sunnah pembangunannya.
(Baca juga: Blak-blakan Cak Nun soal Kondisi Indonesia: Tinggal Ditolong Tuhan apa Tidak…)
Bangsa dan Negara Indonesia mencapai jarak terdekat dari garis finish Sorga. Sementara masyarakat dunia sekarang baru timik-timik tersentuh dan termagnet oleh apa yang dirasakan dan dilakukan oleh Siddarta Budha Gautama: menemukan kepalsuan materialisme, jenuh pada keduniaan, keluar dari Istana, meninggalkan kekuasaan, harta benda, dan halusinasi. Pergi mencari diri yang sejati dan hidup yang lebih abadi.
Mereka sedang mendekati pohon At-Tin. Masyarakat Barat sedang berduyun-duyun terpesona oleh pemerdekaan kemanusiaan Budha. Sudah pasti belum eranya untuk membukakan kepada masyarakat dunia tahap pembelajaran peradaban pasca At-Tin, yakni Zaitun-nya Isa, Turisinina Musa dan Al-Balad Al-Amin. Sebagaimana belum saatnya HTI “membawa mata uang khilafah ke pasar global”.
Begitu memasuki Masehi, ummat manusia menghentikan proses evolusi yang Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa menginformasikannya. Ada yang berhenti pada agama “Bluluk”. Ada yang memegang teguh agama “Cengkir”. Ada juga yang berkuasa dengan tahap “Degan”nya. Sementara sebagian dari penduduk yang sudah memiliki wacana “Kelapa”, di mana konstruksi kulit luar licin, sabut, batok, krambil, dan air kelapanya sudah lengkap – tetapi pola pemikirannya masih Degan, cara hidupnya masih Cengkir, bahkan ekspresi budayanya masih Bluluk, yang orang kesakitan kalau dilempar dengannya.
Beruntunglah kita bangsa Indonesia memiliki dan dibimbing oleh Pancasila. Mungkin Tuhan memang sudah menuliskan di Buku Agung Lauhul Mahfudh bahwa Indonesia adalah Makamnya Pancasila. Makam aslinya Maqam. Dari kata Qiyam. Berdiri. Maqam adalah tempat berdiri: Indonesia adalah tempat tegaknya Pancasila. Tetapi karena hidup ini dinamis, tetap ada baiknya waspada jangan sampai Indonesia menjadi makamnya Pancasila.[]
*) Emha Ainun Nadjib, budayawan.