PWMU.CO – Muhammadiyah bagai dua sisi mata uang. Satu sisi keislaman, sementara sisi lainnya adalah keindonesiaan. Demikian kata Muhadjir Effendy.
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Muhadjir Effendy MAP menyampaikannya pada Tabligh Akbar Milad ke-111 Muhammadiyah, yang bertempat di halaman kantor Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Sidoarjo, Jl Mojopahit 666B Sidoarjo, Ahad (17/12/23).
Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu menjelaskan, tema Milad ke-111 Muhammadiyah, yakni “Ikhtiar Menyelamatkan Semesta. “Ikhtiar menyelamatkan semesta, judulnya sangat keren, terlalu keren sehingga tampak sulit dipahami. Tema ini merujuk pada tiga hal,” ujarnya.
Pertama, kata dia, pandangan Muhammadiyah tentang Islam, yakni Islam berkemajuan, tengahan, dan memerdekakan. Kemudian yang kedua adalah karakter organisasi Kemuhammadiyahan yakni sebagai gerakan dakwah, tabligh, dan tajdid.
“Dakwah artinya mengajak, tabligh artinya menyampaikan, dan tajdid artinya pembaharuan. Kalau pembaharuan berarti ada yang lama, yang lama belum tentu jelek. Saya menyelidiki Muhammadiyah yang awal-awal dulu, mungkin yang lama itu lebih baik. Sehingga yang baru-baru ini perlu dikembalikan seperti generasi assabiqunal awwalun,” tuturnya.
Lebih lanjut Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Indonesia itu menekankan, jangan sampai pembaruan itu keluar dari niat para pendahulu kita. “Karena dalam Islam itu yang sempurna pada zamannya Rasulullah dan khulafa rasyiddin. Tajdid juga di dalamnya ada kegiatan pemurnian, pembaharuan juga diseleraskan dengan pemurnian sesuai niat para pendahulu Muhammadiyah dulu,” paparnya.
Muhammadiyah bagai Dua Sisi Mata Uang
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indoensia 2016-2019, itu menjelaskan bahwa Muhammadiyah harus aktual dalam menyikapi isu multidimensional dalam berbangsa dan bernegara. “Muhammadiyah perlu sikap yang tepat terkait isu berbangsa dan bernegara,” ucapnya.
Muhammadiyah, lanjut dia, harus mempunyai dua sisi mata uang, yakni keislaman dan keindonesiaan. “Ini bukan soal pilihan, tetapi menjadi identitas,” imbuhnya.
Dia melanjutkan penjelasannya, Muhammadiyah ya keislaman juga keindonesiaan. Uang kalau cuma ada satu sisi tidak ada nilainya, itulah Muhammadiyah. “Maka saudara kita yang di luar negeri mendidirikan Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM). Muhammadiyah tidak pernah menyebut Indonesia, tetapi Muhammadiyah tetap konsisten berbangsa dan bernegara,” terangnya.
Pria kelahiran Madiun, 67 tahun lalu itu menekankan bahwa Muhammadiyah harus mendukung program pemerintah. “Agar kita bisa menjaga keseimbangan antara keislaman dan keindonesiaan. Program Muhammadiyah harus seimbang dengan pemerintah. Kritik itu boleh, tetapi jangan sampai tidak menjadi bagian dari pemerintah. Kita harus juga berjuang dari dalam, kalau dari dalam bisa merasakan perjuangannya,” tandasnya. (*)
Penulis Mahyuddin. Editor Darul Setiawan.