Prabowo dan Buah Buruk “Ndasmu” Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Ulama Kritis Berjejak Manis dan sembilan judul lainnya
PWMU.CO – Secara umum, kepala punya makna positif bahkan agung. Lihat saja frasa ini; Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Kepala Daerah, dan istilah-istilah lain yang serupa.
Kepala juga punya makna positif terkait makanan yang enak. Siapa gerangan yang tak suka dengan gulai kepala ikan? Siapa yang tak senang dengan kepala kambing setelah dimasak dengan beragam pilihan menu seperti sop atau gulai?
Posisi kepala 0emerintahan itu agung, jika dipandang sebagai media bagi seseorang yang berniat tulus mensejahterakan rakyat. Bahwa, dengan wewenangnya, seorang Kepala Pemerintahan akan bekerja (baca: berjuang) secara maksimal untuk memenuhi amanat konsitusi. Bahwa, dia sebagai Kepala Pemerintahan akan menjauhi penyakit yang menyengsarakan rakyat (dan pada akhirnya pasti juga bagi dirinya sendiri), yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kini, ketika demokrasi mengatur bahwa kepala pemerintahan harus “diperebutkan” lewat mekanisme pemilu, maka banyak yang memanfaatkannya. Tentu, kita tak tahu isi kepala seseorang, dia maju mengikuti kontestasi pemilihan presiden karena motivasi apa. Benar-benar ingin mengabdi kepada semua warga negara atau niat yang selain itu?
Memantik Heboh
Hari-hari ini, diksi kepala menjadi rasan-rasan nasional. Itu terjadi karena di sebuah pertemuan di depan kadernya sendiri, Prabowo-salah satu capres-berkata “ndasmu etik”.
Alkisah, pada 15/12/2023, Prabowo berpidato di depan banyak kadernya.Kala itu Prabowo menirukan lawannya dalam debat tiga hari sebelumnya yang bertanya soal etika. “Bagaimana perasaan Mas Prabowo, soal etik, etik, etik. Ndasmu etik,” ujar Prabowo.
Kita bisa melihat ekspresi Prabowo saat mengucapkan hal di atas. Juga, dapat merasakan intonasinya. Ada kesan meremehkan.
Siapa yang diremehkan? Bisa lawan debatnya, dapat pula etik itu sendiri yang dipandang sebelah mata.
Hanya saja, aneh, tepuk tangan langsung membahana begitu Prabowo mengucapkan kata “ndasmu” di depan kadernya itu. Teriakan “Hidup Prabowo” juga ramai terdengar.
Sontak, publik terperangah. Mereka, terutama orang Jawa atau telah lama tinggal di Jawa, paham bahwa kata “ndasmu” yang diucapkan Prabowo itu kasar.
Dalam bahasa Jawa, ndas itu kepala. Ndasmu, kepalamu. Selanjunya, ndasmu bisa menjadi umpatan karena ekspresi dan intonasi si pengucap.
Kembali ke pokok masalah. Siapapun yang melihat konteks, ekspresi, dan intonasi (bisa lewat video yang beredar luas), kata “ndasmu” dari Prabowo ada pada makna merendahkan, mencemooh, bahkan umpatan.
Tak sedikit yang menggeleng-gelengkan kepala. Prihatin, mendapati kenyataan pahit, bahwa seorang tokoh nasional (dan sekarang maju sebagai salah satu capres) tega berkata-kata buruk seperti itu.
Alasan Tak Berdasar
Kita semakin tertunduk sedih melihat respons Prabowo dan orang-orang dekatnya. Sedih saat mereka menanggapi kritik yang datang dari berbagai arah.
“Oh, itu acara internal. Kok bisa keluar ya video itu?” Demikian, salah satu alasan mereka.
“Ah, itu canda. Hal yang biasa!” Demikian, alasan yang lain.
Dua alasan itu sangat rapuh. Pertama, meski itu acara internal, bolehkah seseorang (terlebih dia di posisi pemimpin) berkata-kata tak pantas kepada orang lain? Sungguh, etika membatasi kita untuk tak berkata-kata buruk di situasi apapun dan di manapun.
Kedua, masyarakat tahu, mana konteks canda dan bukan canda. Lihat saja atmosfir pertemuan tersebut. Itu, konteksnya, bagian dari suasana persaingan pemilu presiden yang sedang melingkupi Prabowo. Artinya, sulit diterima alasan bahwa dia sedang bercanda saat mengucapkan “endasmu” itu.
Terlebih lagi, bukan sekali ini saja Prabowo mengucapkan “ndasmu” di forum terbuka. Di masa kampanye pemilu 2019, setidaknya dua kali Prabowo mengucapkan “ndasmu”.
Implikasi Logis
Kini, masyarakat (makin) bisa menilai, siapa yang tak layak memimpin mereka. Tentu, beresiko memilih tokoh yang tak bisa mengendalikan perasaan, yang mudah marah jika diri dan pikirannya terganggu.
Masyarakat luas tentu akan lebih memilih pemimpin yang cakap dalam menata kata-kata, yang memperhatikan tata-krama. Mereka akan lebih merasa terlindungi jika memilih pemimpin yang santun, rendah hati, dan kepalanya penuh dengan gagasan untuk menyejahterakan semua warga negara tanpa kecuali. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post