Lukisan Pencari Legen
Hendy juga membawa lukisan lain yang diberi judul Para Pencari Legen (PPL). Di balik lukisan itu juga ada keresahan yang ia punya pada pohon siwalan di daerah Paciran, tepatnya daerah yang bersebelahan dengan tempat tinggalnya di Brondong.
“Penghasilan minuman yang bernama legen itu sudah hampir punah juga karena lahan yang ditumbuhi pohon siwalan penghasil legen itu pada ditebang untuk peternakan ayam dan lele,” ungkapnya.
Hendy kemudian mengatakan, reboisasi (menanam ulang) hingga pada tahap panen buah siwalan memerlukan waktu 50 tahun. Karena itulah ia mengaku nelangsa. Akhirnya sebagai pegiat lingkungan dan seniman, ia tersentuh untuk menciptakan karya lukis tersebut.
“Saya pun protes, ya apa sih, padahal menanam pohon siwalan itu memerlukan waktu satu generasi. Masyarakat sana itu tidak sadar tinggal potong del, satu generasi lho, Mas! Padahal minuman yang bernama legen itu sudah khas dari Paciran,” ujarnya.
Hendy pun bercerita mengenai kiprahnya dalam dunia melukis. Ketika usianya masih menginjak SD kelas VI pada 1981, ia sudah mulai melukis. Bahkan hasil lukisannya dapat menghasilkan uang dengan nilai Rp 25 ribu.
“Dulu sempat ada acara akhir tahun lulusan sekolah dasar ke Malang Songgoriti, bayarnya Rp 15 ribu. Saya bisa ikut karena pakai uang hasil lukisan,” ucapnya sambil tertawa.
Hendy kemudian mengatakan, ketika lulus SMA ia sempat mendaftarkan diri secara diam-diam di sebuah Perguruan Tinggi Negeri Surabaya jurusan Seni Rupa. “Waktu itu namanya masih IKIP Negeri Surabaya. Kampusnya masih di Ketintang, sekarang sudah menjadi Unesa,” kenangnya.
Dia menambahkan, “Lucunya, saya minta uang semester sejumlah Rp 360 ribu. Waktu itu sudah lolos nama saya masuk koran. Kalau alo dulu masih Sipenmaru, kalo sekarang kan SBMPTN.”
Hendy akhirnya mengikuti tes keterampilan melukis. Hasil dari tes tersebut membuat Hendy diterima. Setelah itu ia berencana ingin meminta uang pendaftaran untuk satu semester saja di mana sisanya ia akan membiayai kuliahnya sendiri. Hendy pun mengalami perdebatan dengan ayahnya hingga pada akhirnya ia tidak melanjutkan pendidikan tinggi.
“Waktu itu background orang tua saya nelayan. Gak dikasih, padahal punya jaring, punya perahu, punya alat tangkap nelayan. InsyaAllah bisa lah kasih uang segitu, tapi gak dikasih. Maunya bapak, saya harus meneruskan bisnisnya untuk menangkap ikan,” ujar pria berusia 56 tahun itu.
Hal itu membuat Hendy pergi merantau ke Bali untuk belajar melukis secara otodidak. Merantau membuat Hendy memiliki prinsip ia harus memberikan pendidikan tinggi pada anak-anaknya kelak.
Kiprahnya sebagai pelukis kini membuat Hendy memikili lima anak. Keempat anaknya telah mengenyam pendidikan tinggi dan mendapatkan posisi pekerjaan yang membuatnya bersyukur. Sedangkan anak bungsunya masih duduk di bangku SMA. (*)
Penulis Ario Khairul Habib Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni